Tardjono Abu Muas, Pemerhati Masalah Sosial
Tardjono Abu Muas, Pemerhati Masalah Sosial

Oleh: Tardjono Abu Muas, Pemerhati Masalah Sosial

Pascadeklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di Tugu Proklamasi Jalan Pegangsaan Timur Jakarta Pusat, Selasa (18/8/2020) bulan lalu, keberadaan KAMI bak penumpang dalam sebuah armada kapal besar berbendera Indonesia yang sedang berlayar yang kapalnya sedang menghadapi badai di tengah lautan.

Merasakan kondisi kapal yang semakin oleng, KAMI sebagai penumpang tak mau tinggal diam dengan segera mengambil sikap berupaya menyelamatkan kapal dan seluruh penumpang yang ada di dalamnya.

Melalui delapan poin dalam maklumatnya, KAMI memberikan masukan kepada crew kapal berbendera Indonesia ini agar kapal beserta seluruh para penumpangnya bisa selamat.

Belum juga genap satu bulan masukan dari KAMI yang berisi delapan poin maklumatnya kepada crew kapal yang dalam hal ini kepada para penentu kebijakan di negeri ini, alih-alih mendapatkan respon positif malah yang ada mulailah muncul cibiran-cibiran yang menyatakan bahwa KAMI tak ubahnya berisi barisan orang-orang sakit hati, ada pula yang menyatakan barisan orang-orang yang penuh ambisi. Bahkan yang lebih konyol lagi ada salah seorang yang menuduh gerakan KAMI merupakan gerakan makar.

Yang bersangkutan menuduh KAMI sebagai gerakan makar dilihat dari isi maklumat kedelapan dari KAMI yang berbunyi, “Menuntut Presiden untuk bertanggung jawab sesuai sumpah dan janji jabatannya serta mendesak lembaga-lembaga negara (MPR, DPR, DPD dan MK) untuk melaksanakan fungsi dan kewenangan konstitusionalnya demi menyelamatkan rakyat dan negara Indonesia.”. Benarkah redaksi poin maklumat ini sudah tergolong tindakan makar?

Padahal keberadaan KAMI hanya merupakan gerakan moral yang menghendaki keselamatan bersama dalam sebuah kapal besar yang berbendera Indonesia.

Berbicara tentang keselamatan sebuah kapal beserta seluruh penumpangnya, layaklah kiranya kita simak dan hayati pesan Rasulullah SAW lewat sabda beliau: “Perumpamaan orang yang mengingkari kemungkaran dan orang yang terjerumus dalam kemungkaran adalah bagaikan suatu kaum yang berundi dalam sebuah kapal. Nantinya ada sebagian berada di bagian atas dan sebagiannya lagi di bagian bawah kapal tersebut. Yang berada di bagian bawah kala ingin mengambil air, tentu ia harus melewati orang-orang di atasnya. Mereka berkata, “Andaikata kita membuat lubang saja sehingga tidak mengganggu orang yang berada di atas kita.” Seandainya yang berada di bagian atas membiarkan orang-orang bawah menuruti kehendaknya, niscaya semuanya akan binasa. Namun, jika orang bagian atas melarang orang bagian bawah berbuat demikian, niscaya mereka selamat dan selamat pula semua penumpang kapal itu.” (HR. Bukhari no. 2493).

Hadits tersebut di atas memberi pelajaran berharga bagi kita, bahwa kewajiban amar ma’ruf nahiy munkar wajib tetap ditegakkan baik dalam skala kecil maupun dalam skala besar terlebih dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.***