JAKARTASATU.COM – Jakob Oetama, tokoh pers nasional, wafat pada hari ini, Rabu (9/9/2020) di usianya yang ke 88 tahun. Jenazah wartawan senior yang juga pendiri Kompas Gramedia itu saat ini masih berada di Rumah Sakit Mitra Keluarga, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Pria kelahiran 27 September 1931 ini mengawali kariernya sebagai jurnalis dengan menjadi redaktur di majalah mingguan Penabur pada 1956.
Jakob adalah tokoh penting pers yang telah membangun media dengan cara terdepan di tanah air. Wartawan Edi Junaedi menulis di akun FBnya bahwa Jakob Oetama Pionir Era Pers Industri. Pers sebagai jurnalistik ideal, kita mengenal Mochtar Lubis (Indonesia Raya), Rosihan Anwar (Pedoman), dan B.M. Diah (Merdeka). Namun di era 1970-an (pasca Malari) Kompas tercatat sebagai inovator dimaknainya era pers industri di Indonesia. Jakob Oetama Sang Maestro memulai era komersil kebutuhan pembaca (audience) jadi pertimbangan utama dalam mengelola media massa.
“Unsur iklan menjadi tumpuan harapan, apalagi setelah reformasi koran (Sirkulasi) harga jualnya sudah merugi (karena pelemahan Rupiah), karena kertas koran full import,” tulis Edi.
Cara bisnis yang dikelola kelompok Kompas bahkan juga mengembangkan bisnis usahaya selain media, seperti perhotelan, pendidikan, dan toko buku gramedia. Dengan meraih kesuksesaan di bidang usahanya, ia pun layak disebut pengusaha sukses. Tapi, Jakob lebih senang disebut sebagai wartawan.
Menjadi wartawan adalah pilihan tepat bagi Jakob Oetama. Lebih dari 60 tahun ia bergelut di bidang media sejak umur 24 tahun. Siapa pun pasti sudah tak asing dengan sosok Jakob Oetama. Pria kelahiran Desa Jowaban, 27 September 1931 ini merupakan pendiri Kompas Gramedia Group. Bersama rekannya Petrus Kanisius Ojong pada tahun 1965 mendirikan Harian Kompas. Sebelum Harian Kompas lahir, pada tahun 1963, dua sahabat ini sudah mendirikan majalah bulanan Intisari yang berisi ilmu pengetahuan dan teknologi. Majalah ini terinspirasi dari majalah Reader’s Digest asal Amerika.
Pada awalnya, pria yang pernah menjadi guru di SMP Mardi Yuana, Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, ini merasa bimbang, apakah ia ingin tetap menjadi guru atau alih profesi sebagai sebagai wartawan. Meski sebelumnya, menjadi guru adalah cita-citanya sejak kecil bersamaan dengan keinginannya sebagai pastor.
Namun, seiring bertambahnya usia Jakob pun mengeliminasi cita-citanya sebagai pastor dan tidak melanjutkan Sekolah Menengah Atas Seminari (sekolah khusus untuk menjadi pastor). Ditambah lagi sang ayah, Raymundus Josef Sandiya Brotosoesiswo kala itu berprofesi sebagai guru Sekolah Rakyat.
Di tengah kebimbangan antara jadi guru atau wartawan tersebut, Hingga akhirnya ia berbincang dengan Pastor JW Oudejans OFM, pengelola Majalah Penabur, Jacob pun membulatkan tekatnya bukan sebagai guru professional melainkan wartawan profesional. Itulah pilihan Jakob seprti tertulis di buku Syukur Tiada Akhir (2011).
Pilihannya untuk terjun ke dunia tulis menulis bukanlah hal baru baginya. Sebelumya, Jakob Oetama memang memiliki hobi menulis. Hobinya dalam menulis pun semakin matang setelah ia melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada.
Sudah sejak tahun 1956, pria yang kerap disapa JO (Je-O) ini telah dipercaya sebagai Sekretaris Redaksi majalah Penabur hingga tiba saat ia berhasil mendirikan majalah Intisari dan Harian Kompas bersama sahabat karibnya.
Tentu saja, keberhasilan tersebut bukanlah sebuah akhir, melainkan langkah baru bagi Jacob membawa perubahan segar bagi jurnalisme Indonesia.