JAKARTASATU.COM – Ternyata bukan hanya PT Pertamina (Persero) sebagai holding saja yang mengalami kerugian mencapai Rp 11,13 triliun pada perhitungan rugi labanya di semester 1 tahun 2020, hal yang sama dialami juga oleh sub holdingnya PT Perusahaan Gas Negara Tbk ( PGAS) sepanjang semester pertama thn 2020 labanya anjloknya mencapai 87,56 %.

Berdasarkan laporan keuangan yang dipublikasikan pada Jumat 04/09/2020 oleh Direktur Keuangan PGN Arie Nobelta Kaban mengungkapkan laba periode berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik induk di semester pertama pada tahun 2020 hanya sebesar USD 6,72 juta atau sekitar Rp 97,5 miliar (kurs Rp 14.500/ USD), sementara pada periode yang sama pada tahun 2019 laba bersih yang tercatat adalah USD 54, 04 juta.

Meskipun Arie Kaban menyatakan bahwa kinerja keuangan PGAS pada semester pertama ini sangat dipengaruhi oleh triple down effect, yaitu akibat dampak pandemi covid 19 terjadi penurunan konsumsi, disertai penurunan harga minyak dan gas dunia, dan pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS adalah alasan yang tidak juga bisa dibenarkan semuanya.

Karena dalam kondisi harga minyak dan gas serta LNG yang lagi murah dimulai pada Maret 2020 itu, mungkin banyak berpengaruh hanya pada sektor hulu PGAS saja, yaitu terhadap atifitas PT Saka Energi, kalaupun dihilir hanya relatif sedikit saja, karena banyak industri yang membatasi operasinya, tetapi karena PSBB dan work from home seharusnya konsumsi gas rumah tangga semakin meningkat, lazimnya sektor hilir berkontribusi besar bagi laba perusahaan, adapun contoh lainnya ternyata konsumsi LPG meningkat tajam dan harga jualnya tidak sepeserpun dikoreksi oleh Pertamina, padahal CP Aramco saat itu hanya sekitar USD 250/ metrik ton, sebelumnya CP Aramco LPG bisa mencapai USD 500/ metrik ton.

Menurut informasi yang beredar kuat, salah satu penyebab melemahnya kinerja PGAS saat ini akibat adanya ketidak harmonisan antara sesama anggota BOD dan antara anggota BOD dengan BOC setelah RUPS PGAS pada Mei 2020 oleh meneg BUMN, yaitu atas pengangkatan Suko Hartono sebagai Dirut dan Achandra Tahar sebagai Komisaris Utama, kondisi ketidak harmonisan itu terasa kental ketika rapat rapat BOD dengan BOC dilaksanakan, akibatnya banyak program program jalan ditempat.

Pasalnya kehadiran kedua figur itu bukannya membuat organisasi itu semakin solid dalam membawa visi dan misi perusahaan agar semakin baik, tetapi katanya mereka terkesan hanya membawa agenda masing masing, inilah yang tidak boleh terjadi, akan berdampak luas terhadap kinerja perusahaan.

Seperti publik ketahui, Achandra Tahar sewaktu menjabat sebagai wamen ESDM sering membuat kebijakan yang kontroversial yang berdampak buruk terhadap masa depan sektor hulu migas nasional jangka panjang, yaitu menerapkan konsep gross split dengan merubah konsep cost recovery yang sudah diadopsi puluhan perusahaan migas didunia.Terbukti sekarang konsep gross split telah dikoreksi oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif.

Selain itu, Achandra Tahar diduga adalah sosok dibalik kebijakan perubahan harga kontrak gas menjadi lebih mahal dibeli oleh PGN senilai USD 0,90 cent per MMBTU, yaitu dari harga USD 2,6 menjadi USD 3, 5 per MMBTU untuk gas dari blok Coridor lapangan Grisiik Conoco Philips pada 1 Agustus 2017, anehnya lagi PGN dicekik gak boleh menaikan harga jualnya ke PLN di Batam, apa tidak konyol ini ?

Apa bung Ari Kaban lupa ketika masih di KPK menerima langsung laporan kami dan kawan kawan soal pelanggaran terhadap perpanjangan kontrak blok Coridor kepada Conoco Philips, padahal menurut Peraturan Menteri ESDM nomor 15 tahun 2015 yang menyatakan wilayah kerja migas yang berakhir kontraknya harus diserahkan kepada BUMN, dalam hal ini Pertamina.Cobalah hitung berapa hilang potensi keuntungan bagi negara kalau blok migas itu dikelola oleh Pertamina .

Achandra juga sangat lamban menjalan Kepmen ESDM nmr 13 tahun 2020 yang ditanda tangani 17 Januari 2020 tentang Penugasan Pelaksana Penyedian Pasokan dan Pembangunan Infrastruktur LNG, serta Konversi Penggunaan BBM dengan LNG untuk Pembangkit Tenaga Listrik PLN

Padahal kebijakan itu selain untuk efisiensi pembangkit listrik PLN supaya tidak menggunakan HSD ( high speed diesel) yang relatif mahal, ternyata kebijakan itu oleh Menteri ESDM untuk mengantisipasi kelebihan pasokan LNG di Kilang Bontang yang oleh pembeli lamanya dari Jepang telah membatalkan perpanjangan kontraknya, dan kontrak jangka panjang itu akan berakhir pada Desember 2020, pertanyaan nya mau dibuang kemana LNG itu ???.

Setali tiga uang juga dengan sosok Suko Hartono sebagai Dirut, infonya diduga keras lebih aktif berperan untuk menggolkan perusahaan koleganya agar bisa menguasai proyek proyek invetasi di PGN dan anak usahanya.

Menjadi rumor keras adanya intervensi Suko di Patragas untuk menunjuk PT IG sebagai pelaksana pemasangan pipa di blok Rokan, karena sebelumnya ketika Suko masih sebagai Dirut Patragas periode 2017 sd 2018, dia lah yang menanda tangani kontrak antara Pertagas dengan PGN, terungkap juga saat itu anak usahanya PT IG, yaitu PT Inti Alusindo Energi yang mendapat alokasi gas 40 MMSFD dari blok HCML Madura, yaitu pembangunan pipa gas Samere – Tie in pipa porong Grati Jawa Timur, namun saat itu tertunda berdasarkan perhitungan BPK bahwa proyek itu keenomiannya negatif akibat adanya realokasi gas untuk PT Parna Raya.

Terbaru dan lebih mengejutkan lagi, beredar rumor adanya jual nama Suko oleh Direktur PGASol bahwa beberapa perusahaan inisial R dan ACM akan melaksanakan pekerjaan pipeline di blok Rokan atas perintah Suko, hal inilah yang harus diklarifikasi unsur kebenarannya.

Oleh karena itu, mengingat apa yg dikatakan Prof Mahfud MD baru baru ini dikanal Youtube resmi Pusako Fakultas Hukum Unand yang luas dikutip media 11/9/2020 bahwa ” dimana mana, calon calon kepala daerah itu 92 persen dibiayai oleh cukong dan sudah terpilih, akan melahirkan korupsi kebijakan”.

Maka tak salah kalau publik akan menilai apa yang terjadi di proses bisnis PGAS jangan jangan sama juga, korupsi kebijakan untuk membalas budi terhadap tokoh tokoh yang punya kekuatan politik menekan Meneg BUMN agar dia bisa menjabat.

Jakarta 12 September 2020
Direktur Eksekutif CERI.

Yusri Usman.

Refrensi

1.https://www.dunia-energi.com/kontrak-lng-tertua-indonesia-tidak-lanjut-siapa-yang-salah/

2.https://energyworld.co.id/2019/07/29/ini-9-poin-pelaporan-kasus-perpanjangan-kontrak-blok-corridor-kepada-conocophillips-ke-kpk/

3.https://amp.kontan.co.id/news/laba-perusahaan-gas-negara-pgas-anjlok-8756-di-semester-i-2020