Apa yang saya tulis 5 hari lalu terbukti. Ketika IHSG anjlok dikatakan karena kebijakan PSBB. Ketika IHSG naik disebut karena pasar merespons kebijakan pemerintah yang serius tangani korona.
Jika itu diucapkan analis atau pelaku bursa, lumrah. Tapi jika yang buka mulut adalah Menko Perekonomian cum ketua umum partai, berarti makin komplit indikasi bahwa negara ini sakit. Kenapa sakit? Karena kita menyerahkan urusan perut kita kepada pejabat ekonomi yang berpikir secara politik.
Kita mesti pertanyakan dengan kritis. Bagaimana hubungan antara situasi riil dengan pergerakan indeks? Apakah selalu linier atau bahkan mungkin sebetulnya tidak ada hubungan erat. Jika keduanya selalu dikaitkan, siapa yang diuntungkan sebenarnya? Bukankah ini adalah hukum ekonomi biasa yang bertumpu pada permintaan dan penawaran? Jika harga turun, ada yang ambil beli di bawah (harga murah); jika naik, ada yang jual di atas untuk take profit.
Untuk menggerakkan pasar caranya sederhana. Bukan saya yang bilang. Tapi fakta persidangan di PN Jakpus, Senin lalu, dalam sidang Jiwasraya.
Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto berkata begini: “Jadi kalau di (dunia) saham ini, Pak, sekilas jadi seperti orang nitipin beli rokok di kantin. Kantinnya udah dititipin uang sama yang mau beli rokok itu. Nah jadi saya tinggal beliin. Nah, penjaga kantin pasti akan konfirmasi sama yang punya dana.”
Joko berkata itu dalam konteks pertanyaan jaksa mengenai para pejabat Jiwasraya yang sering kali titip jual-beli saham melalui dirinya.
Dengan logika demikian maka korona tidak selalu memukul semua kalangan. Tetap ada pemancing di air keruh yang mengail keuntungan dari pasar keuangan dengan instrumen permainan opini publik.
Tapi pemerintah bukanlah perusahaan sekuritas. Bobot perannya adalah melindungi kepentingan umum. Kepentingan umum hanya dapat terlindungi jika yang menjalankan negara ini jujur dan punya integritas.
Poinnya bukan pada distribusi informasi yang positif atau negatif melainkan pada jujur tidaknya pejabat berkata tentang situasi yang sebenarnya. Jika masyarakat banyak yang semakin tidak percaya terhadap pemerintah, segala upaya apapun untuk pemulihan akan berakhir seperti menggarami laut. Sia-sia.
Bukan berita baik yang dibuat-buat dan dipermak sana-sini yang membuat imun kita kuat terhadap korona melainkan berkata yang sebenarnyalah yang akan membuat kita siap menghadapi kenyataan buruk dan berbuat semaksimal mungkin untuk menghadapinya. Itu yang membuat badan dan jiwa kuat sehingga akan melipatgandakan rasa syukur kita kepada Tuhan.
Salah satu tanda pemerintahan suatu negara mengalami surplus ketidakjujuran adalah semakin banyak istilah-istilah baru yang diproduksi dan dipakai. “New Normal”, “Merdeka Belajar”, “Instal”, “Winter is Coming”, “Hiccup”, “Terrecover” dan sebagainya.
Mau dikata apa lagi, nyatanya semakin banyak istilah ‘canggih’ diproduksi tidak membuat negara ini terdepan dalam kompetisi internasional di berbagai bidang. Korupsi masih banyak. Kemiskinan masih marak di depan mata.
Produksi istilah dan kutipan sana-sini tidak selalu menunjukkan seseorang cerdas dan punya hati. Bisa jadi dalam banyak kasus justru menunjukkan yang bersangkutan tidak mampu berbuat apa-apa dan lumpuh hatinya.
Salam.
Agustinus Edy Kristianto