M Rizal Fadillah/FOTO OLAHAN JAKSAT

by M Rizal Fadillah

Jagad Medsos satu dua hari ini marak diisi oleh pemberitaan penusukan Syekh Ali Jaber oleh seorang pemuda yang bernama Alfin Andrian. Penusukan dilakukan di tengah ceramah Syekh Jaber dalam acara Wisuda Tahfidz Al Qur’an di Masjid Falahuddin Bandar Lampung.

Yang menarik adalah keterangan keluarga bahwa yang bersangkutan sakit jiwa. Terlalu cepat pihak Kepolisian menyampaikan keterangan keluarga ini. Akibatnya isu pun berkembang bahwa “gila” sebagai alibi klise setiap pelaku kekerasan kepada Ulama. Kecurigaan publik menjadi mengemuka. Ada disain apa dibalik semua ini ?

Menkopolhukam Mahfud MD meminta aparat mengusut motif dan jaringan. Apakah seruan ini efektif atau menjadi angin lalu saja ? tidaklah jelas. Jika murni kriminal tentu mudah mengusut hal ini apalagi yang bersangkutan tertangkap. Banyak saksi pula di sana.

Berbeda jika ada motif politik, awalnya lempar dahulu sebagai dugaan tetapi lama-lama menguap. Menjadi model seperti yang berlangsung selama ini. Motif politik adalah operasi intelijen yang entah dilakukan oleh lembaga atau instansi mana. Alfin Andrian sendiri bisa menjadi saksi kunci. Lalu orang tuanya.

Ini kasus sangat serius yakni percobaan pembunuhan Ulama. Jangan dilihat hanya luka di tangan, tetapi jika sukses tentu sangat menghebohkan. Berdampak besar, terbayang seorang Ulama yang terbunuh. Tidak mudah terhapus dengan argumen gila. Orang gila tak bisa memilih sasaran. Dugaan adanya disain sangat beralasan. Kegoncangan sosial bahkan politik mungkin terjadi.

Kini aparat diuji, bermain atau serius. Rakyat tentu bukan penonton yang mesti disuguhi sandiwara. Polisi harus mampu membongkar dan BIN baru saja men “declare” memiliki pasukan Rajawali yang langsung diuji mahir akting atau berdaya guna untuk bertempur melawan bayangan. Percobaan pembunuhan dengan target Syekh Ali Jaber memuat banyak pesan dan kesan.

Uniknya dari serangan mematikan ini pertama dilakukan “nekad” didepan umum artinya pelaku siap menjadi martir. Kedua, acara ceramah berkaitan Wisuda Tahfidz tentu nuansanya spiritual. Ketiga, Syekh Ali Jaber dikenal bukan penceramah “keras” tetapi “sejuk”. keempat, anak muda berprofil normal tiba tiba disebut “gila”. kelima, ia datang dari luar kerumunan jama’ah sehingga ada “persiapan” di luar. Keenam, pemeriksaan bukan intens ke “tersangka” tetapi justru menyusur panitia.

Operasi intelijen “orang gila” pantas disematkan pada peristiwa ini sebelum nanti dibuktikan sebaliknya. Komplotan orang gila bergerak menari-nari seperti Gerwani di Lubang Buaya bulan September enam lima. Pemerintah semestinya waspada terhadap modus PKI yang memperingati eskalasi dan kegagalan gerakan politiknya. Memusuhi dan berupaya untuk menghancurkan TNI, Santri, dan Ulama.

Sebagai operasi intelijen tentu semua sarwa misterius. Publik dibiarkan bertanya dalam benaknya masing-masing. Asumsi adanya operasi ini berdasar pada kejanggalan peristiwa yang terjadi. Untuk membantah adanya operasi intelijen “orang gila” ini hanya satu yakni penyidikan “kriminal” harus dilaksanakan oleh aparat dengan transparan, tidak berbelok-belok, serta didukung penuh oleh Pemerintah dan seluruh lembaga politik yang merasa prihatin akan instabilitas negeri.

Peristiwa percobaan pembunuhan Syekh Ali Jaber menyimpan banyak cerita tentang agenda fitnah, teror, dan provokasi brutal dari suatu kejahatan politik.
Tidak bisa diabaikan lalu hilang dan hanya menjadi kenangan.

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Bandung, 16 September 2020