Oleh Imam Wahyudi (iW)

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kab. Bandung Barat 2021 bakal defisit hingga mencapai sekira Rp 1 Triliun. Tentu, bukan postur APBD yang sehat. Stadium akut yang masuk kategori pasien unit gawat darurat (UGD). Ngeri. Payah!

Defisit bisa dalam arti kekurangan dana (keuangan) dalam kas daerah. Akibat pengeluaran lebih besar dibanding pendapatan. Dalam bahasa formalnya, selisih antara anggaran pendapatan dengan anggaran belanja tercatat negatif. Anggaran pendapatan lebih kecil dari anggaran belanja. Penulis bukanlah kaliber Uchock Sky Khadafi, sang pengamat “budgeting” publik.

Tercatat, Rencana Pendapatan Daerah “hanya” Rp 2,1 triliun dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Rp 624,6 miliar. Total APBD 2021 Rp 2,4 triliun, sedangkan anggaran Rencana Belanja Daerah (RBD) mencapai Rp 3,1 triliun. Mengagetkan..?! Bagi saya, Tidak!

Sejak lama, kalau tak pantas disebut sedari awal — Kab. Bandung Barat (KBB) lahir lebih demi distribusi kekuasaan. Jauh dari cita-cita dan harapan para penggagas pemekaran. Mirip “omong kosong” demi peningkatan kesejahteraan warga. Distribusi kekuasaan yang bagai memindahkan medan koruptif.

Bila pendapat selintas di atas dinilai benar sesuai fakta lapangan, rasanya saya termasuk ikut “bersalah”. Betapa pun, penulis pernah mengritisi dan atau memberikan masukan hal-ikhwal pembentukan KBB pada 2007. Antara lain terhadap komitmen mendekatkan layanan masyarakat, mandiri dalam sistem kelola pemerintahan hingga menggali potensi daerah secara maksimal. Kesemua itu bermuara pada peningkatan kesejahteraan warga daerah baru. Masa itu, sebagai anggota DPRD Jabar yang terlibat dalam Panitia Khusus (Pansus) tentang Pembentukan KBB. Kami berulang melakukan audiensi dan diskusi dengan Komite Pembentukan KBB yang diketuai alm. H. Endang Anwar (wafat 22 Januari 2020).

Cacat Sejak Lahir
Penulis pernah beropini, kenapa tidak sang pemrakarsa H. Endang Anwar lanjut menjadi bupati pertama di kabupaten baru (kelak). Tentu, diharapkan bersesuaian dengan cita dan harapan terhadap kawasan hasil pemekaran itu. Mekanisme pilkada harus ditempuh.

Dalam Pilkada KBB 2008, pasangan H. Abubakar dan Ernawan Natasaputra terpilih sebagai bupati dan wakil bupati untuk kali pertama. Sebelumnya pejabat Pemprov Jabar, Tjatja Kuswara ditunjuk sebagai Pejabat Sementara (PjS) Bupati KBB sampai dengan 17 Juli 2008. Bertepatan dengan pelantikan Bupati dan Wakil Bupati KBB itu oleh Gubernur Jabar, H. Ahmad Heryawan. Pemprov Jabar atas persetujuan DPRD Jabar memberikan bantuan dana pendampingan atau dana asuh rp 10 miliar untuk tahun pertama. Berlangsung selama tiga tahun.

Terpilihnya Abubakar, ditandai rumor tak sedap terkait jabatan sebelumnya sebagai Sekda Kab. Bandung. Kekhawatiran tidak tegak lurus akan arah tujuan dan harapan terhadap daerah pemekaran, pun merebak. Tak kecuali soal dana asuh Rp 10 miliar yang spesifik untuk mempersiapkan gedung pemerintahan KBB di kawasan Batujajar, Cililin. Belakangan pengembangan kawasan perkantoran Pemkab KBB di Ngamprah.

Perjalanan pemerintahan Abubakar relatif mulus. Karuan terpilih kembali untuk jabatan periode kedua (2013-2018). Kali terakhir, Abubakar berpasangan Yayat Soemitra. Menjelang akhir jabatan, malang melintang. Abubakar tersandung korupsi gratifikasi. Masuk bui untuk masa 8 tahun. Berusaha menurunkan tahta ke istrinya, Elin Suharliah dalam pilkada 2018. Korupsi untuk membantu biaya kampanye sang istri. Abubakar wafat dalam tahanan, pada 13 Juli 2019.

Maaf, bagai “berkah” bagi pasangan Aa Umbara – Hengky Kurniawan. Batu sandungan nama besar Abubakar, terhadang KPK. Melenggang memenangkan pilkada itu. Jadilah Aa Umbara sebagai Bupati KBB periode 2018-2023. Untuk raihan itu, Aa mendapat suntikan dukungan koalisi dari PAN. Selanjutnya bersama PKS, Partai Demokrat dan Nasdem sebagai Koalisi Akur (Aa Umbara – Hengky Kurniawan). Konon Aa siap pula gabung ke PAN, setelah pemecatan sebagai kader PDIP sebelumnya. Penulis sempat jumpa Aa semasih sebagai calon di rumah Ketua DPW PAN Jabar, dalam proses menuju pilkada.

Belum genap setahun atau akhir 2018, Aa Umbara bergeser basis parpol. Bergabung ke Partai Nasdem. Tersiar kabar tak sedap, terkait masalah hukum. Pilihan ke Nasdem, mengingatkan posisi Jaksa Agung yang semula politisi Nasdem. Lepas itu, anak sulungnya — Rian Firmansyah lolos ke DPR RI dari dapil Jabar-II dalam Pileg 2019 lalu.

TAHUN PERTAMA SEBAGAI BUPATI KBB, RUMOR “TAK SEDAP” DI BAWAH PERMUKAAN — MUNCUL DI RUANG PUBLIK. KALI INI, MENGAIT PERKARA DUGAAN TINDAK PIDANA TENTANG PENYALURAN DANA HIBAH DAN BANTUAN SOSIAL TAHUN ANGGARAN 2019 SENILAI SEKITAR RP 80 MILIAR. POLDA JABAR URUNG MELAKUKAN PEMANGGILAN PAKSA, SETELAH AKHIRNYA AA UMBARA MENYERAHKAN FOTOCOPY DOKUMEN DIMAKSUD PADA JANUARI 2020. SANGAT MUNGKIN, POLDA JABAR TETAP MELANJUTKAN PEMERIKSAAN DUGAAN TINDAK PIDANA ITU.

Dengan kata lain, KBB belum mampu keluar dari lingkaran masalah. Bagai cacat sejak lahir. Berulang dan seolah berlanjut. Kali ini, ditandai dengan defisit anggaran sekira Rp 1 triliun. Bak “embryo” masalah baru, berkonotasi kasus hukum. Lantas apa harapan warga atas hasil pemekaran? Alih-alih menjadi mandiri dengan sumberdaya dan kemampuan mengolah potensi kawasan baru hingga sistem kelola administrasi mumpuni. Demi peningkatan kesejahteraan warga, masih dalam bayang-bayang. Begitu, adanya…!*

*) Ketua Komunitas Wartawan Senior (KWS) Jawa Barat.