AKHIRNYA saya menulis ini. Soal pilkada yang ditunda. Mulai Jusuf Kalla (JK) sampai NU, minta ditunda, namun pemerintah belum ada reaksi, bahkan KPU nampaknya masih on untuk jalan, meski ketuanya terpapar Covid19.

Ada pekerja survei yang lebih semangat membandingkan dengan Pilpres di Amerika bahkan mengutip The New York Times dan dijadikan MEME, katanya Pilpres jalan terus di Amerika padahal sedang ada pandemi. Dia membuat hastag #PILKADAJANGANDITUNDA Hanaya kampanye Disesuaikan. Hmm kesehatan lebih penting kayaknya. Ada juga masih  yang bikin kalkulasi masih tukang survei juga, dengan infografik yang menyeramkan Bom Atom di Pilkada 2020. Ada 4 alasannya. Diungkap hanya soal aturan. Dan merasa ketakutan dimana kampanye akan dihadiri banyak pendukung. Sampai disini banyak yang menduga keduanya sama Pilkada harus tetep berjalan? Karena tak ada sinyal di undur dari kedua tukang survei itu. Mungkin. Ini mungkin ya keduanya sudah dapat order survei… Maklum survei itu gede loh bujetnya.

Tukang Survei itu memang senang dengan prediksi. Tapi kenyataannya gagal masih ingat survei Denny JA soal corona yang bilang April lalu, Denny JA merilis survei bahwa pandemi corona di Indonesia akan tuntas pada Juni 2020. Nyatanya nol. Gagallah dia, padahal Denny mengaku tak sembarang melakukan survei. Kata dia saat itu, timnya melakukan riset dengan menggunakan beberapa sumber data yang berasal dari Worldometer dan Singapore University of Technology and Design yang terus memperbaharui perkembangan data kasus corona. Masih kata survei Denny JA, berdasarkan analisis data tersebut, Indonesia kemungkinanakan 99 persen terbebas dari virus corona bulan Juni tahun 2020.

Prediksi ini didasarkan pada jumlah kasus positif COVID-19 di Indonesia terus mengalami penurunan sejak pertengahan April. “Katakanlah 1-3 minggu setelah Lebaran, Indonesia kembali akan hidup hampir normal, mengapa, karena vaksin belum ditemukan. Sehingga kita belum bisa klaim 100 persen ini tuntas. Secara umum tuntas 99 persen, bisa buat kehidupan kita normal kembali tapi kita berjumpa publik luas tetap dengan mematuhi protokol kesehatan,” kata dia saat itu. Hmmm dan ini juga yang membuat

ahli ekonomi Rizal Ramli. “Prediksi yang melesetnya sangat akurat seperti survei-survei yang kerap membohongi dan membodohi rakyat dan menina-bobokan pejabat. How low can you go?” kritik Rizal Ramli.
Yang bayar surveyor dan minta hasil bagus, percaya dari hasil ‘crooked survey’ itu dan menggunakannya sebagai alat propaganda kepada rakyat. Harus ada etika dan UU yang mengatur survei dan pollster. Kalau ndak, bisa jadi promotor of ‘public lies’
Rizal Ramli

Oke lupakan soal pedagang survei itu. Ini menarik Nahdlatul Ulama (NU) juga berpendapat bahwa melindungi kelangsungan hidup (hifdz al-nafs) dengan protokol kesehatan sama pentingnya dengan menjaga kelangsungan ekonomi (hifdz al-mâl) masyarakat. Namun karena penularan Covid-19 telah mencapai tingkat darurat, maka prioritas utama kebijakan negara dan pemerintah selayaknya diorientasikan untuk mengentaskan krisis kesehatan.

Di tengah upaya menanggulangi dan memutus rantai penyebaran Covid-19, Indonesia tengah menghadapi agenda politik, yaitu Pilkada serentak di 9 Provinsi, 224 Kabupaten, dan 37 Kota yang puncaknya direncanakan akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020.

Sebagaimana lazimnya perhelatan politik, momentum pesta demokrasi selalu identik dengan mobilisasi massa. Kendatipun ada pengetatan regulasi terkait pengerahan massa, telah terbukti dalam pendaftaran paslon terjadi konsentrasi massa yang rawan menjadi klaster penularan. Fakta bahwa sejumlah penyelenggara pemilu, baik di tingkat pusat maupun daerah, serta para calon kontestan Pilkada di sejumlah daerah positif terjangkit Covid-19.

Oleh karena itu Nahdlatul Ulama perlu menyampaikan sikap berikut:

1. Meminta kepada Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk menunda pelaksanaan tahapan Pilkada serentak tahun 2020 hingga tahap darurat kesehatan terlewati. Pelaksanaan Pilkada, sungguh pun dengan protokol kesehatan yang diperketat, sulit terhindar dari konsentrasi orang dalam jumlah banyak dalam seluruh tahapannya;

2. Meminta untuk merealokasikan anggaran Pilkada bagi penanganan krisis kesehatan dan penguatan jaring pengaman sosial;

3. Selain itu, Nahadlatul Ulama perlu mengingatkan kembali Rekomendasi Konferensi Besar Nahdlatul Ulama tahun 2012 di Kempek Cirebon perihal perlunya meninjau ulang pelaksanaan Pilkada yang banyak menimbulkan madharat berupa politik uang dan politik biaya tinggi.

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) membuat pernyataan. Ditandatangani ketum, Said Aqil Siroj dan sekjennya, Helmy Faishal Zaini disebutkan, pandemi tengah mencapai tingkat darurat. Hari ini, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah akan menggelar konferensi pers “Pendapat PP Muhammadiyah tentang Penanganan Covid-19 dan Politik Elektoral.” Kuat dugaan, akan ada pernyataan Tunda Pilkada 2020. Ya, karena identik dengan mobilisasi massa.

Bab agenda pilkada kali ini, rasanya tak mudah bagi parpol mengatakan, Tunda! Tak perlu dijelaskan ikhwal itu. Sekurangnya, akan bersandar pada amanat undang-undang. Seiring jalan, KPU pun “keukeuh” untuk tetap digelar 09 Desember 2020. Bersamaan itu, Ketua KPU — Arief Budiman kadung terpapar Covid-19. Mungkinkah ada analisis dan atau argumen berbeda antarkeduanya? Dilema..!

Di satu sisi, kita dituntut kerja ekstra dalam penanganan pencegahan Covid-19. Bahkan harus lebih dulu mengorbankan sisi ekonomi yang mencakup hajat hidup orang banyak. Di sisi lain, agenda pilkada serentak sudah dijadualkan dan tahapan kadung bergulir sepanjang tahun ini. Demikian tulisan Ketua Komunitas Wartawan Senior (KWS) Jabar Imam Wahyudi saya kutip darai Porosnews.com

Dilema di depan mata. Agenda 270 pilkada yang meliputi sembilan provinsi, 37 kota dan 224 kabupaten ini menganggarkan biaya Rp 15 Triliun. Semula dijadualkan 23 September 2020. Alasan masih berlanjut pandemi Corona, lantas diundur 09 Desember 2020. Akibat pengunduran, KPU ajukan anggaran tambahan Rp 4,7 Triliun. Tentu, sudah disetujui. Total sekira Rp 20 Triliun. Tak kecuali Bawaslu yang minta tambah anggaran Rp 478 miliar. Tambahan biaya itu untuk fasilitasi pencegahan virus Corona. Bila, agenda dimundurkan (lagi) — praktis akan terjadi penambahan anggaran lagi. Belum lagi, anggaran peruntukkan KPU daerah yang praktis dari APBD setempat. Padahal kondisi kas daerah umumnya “limbung”, lagi-lagi tersedot penanganan Covid-19. Dilema lagi.

Sementara itu Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Gatot Nurmantyo mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pemerintah untuk menunda penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 karena pandemi virus corona (Covid-19) belum usai. Menurut mantan Panglima TNI itu, pilkada lebih baik dihelat jika situasi sudah aman.

“KAMI meminta kepada KPU dan penyelenggara negara khususnya pemerintah untuk membatalkan/menunda Pelaksanaan Pilkada tersebut sampai dengan batas waktu yang aman bagi rakyat Indonesia,” kata Gatot seperti melansir cnnindonesia.com, hari ini, 21 September 2020.

Gatot menilai laju penularan virus corona di Indonesia akan meningkat jika Pilkada Serentak 2020 dipaksa untuk dilanjutkan. Bakal banyak masyarakat yang terancam keselamatannya.

Sementara disisi lain, Gatot mengatakan bahwa pemerintah wajib menjalankan amanat konstitusi Undang-undang Dasar 1945, yakni melindungi segenap rakyat Indonesia.

Gatot menilai Presiden Joko Widodo berpotensi melanggar konstitusi dan janjinya yang ingin mengutamakan kesehatan ketimbang ekonomi bila pilkada tetap dilanjutkan.

“Pelaksanaan Pilkada saat ini yang potensial mendorong laju pandemi akan dinilai sebagai pelanggaran terhadap amanat konstitusi tersebut dan melanggar janji Presiden Joko Widodo sendiri yang pernah menyatakan akan mengutamakan kesehatan dari pada ekonomi,” kata Gatot.

Jadi dari sejumlah sumber diatas saya malah punya kesimpulan. Soal Pilkada antara mundur dan tidak menjadi polemik panjang. Nah untuk tukang survei bikin aja lagi survei PILKADA TUNDA ATAU JALAN…silakan cari elektabilitas mana yang banyak. Hehehe…Ngopi dulu deh siapa tahu ada keputusan pasti dari pemerintah atas ini. Atau tak mau mundur karena sudah tak kuat anak mantunya ingin jadi Walikota. Hmmmmm.

@AENDRAMEDITAKARTADIPURA

#CATATANJAKARTASATU

21 SEPTEMBER 2020