OLEH Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Setiap rezim, di negara manapun berada, selalu akan mendengar dan mempertimbangkan suara mayoritas. Ini hukum politik. Mayoritas adalah kekuatan yang menentukan. Kecuali jika kelompok mayoritas rapuh dan berada dalam kendali kekuasaan. Seperti rakyat India yang hindu di era kerajaan Mughol.
Di Indonesia, ada dua ormas besar yaitu NU dan Muhammadiyah. Dengan ciri, cara, karakter dan klaster yang berbeda, keduanya mewakili suara mayoritas penduduk Indonesia.
Rezim sekuat Orde Lama dan Orde Baru sekalipun, kendor ketika dua ormas besar itu “secara resmi” memprotes kebijakannya. Begitu juga rezim-rezim setelahnya.
Berbeda dengan para pendahulunya, Jokowi cenderung lebih percaya diri dan berani. Tak saja NU dan Muhammadiyah, suara MUI juga gak didengarkan.
Terkait RUU HIP, MUI, NU dan Muhammadiyah protes. Didukung oleh ratusan ormas lainnya. Minta RUU HIP dibatalkan. Cabut dari prolegnas. Tak digubris. Baik oleh DPR maupun pemerintah.
Tidak saja soal RUU HIP. Baru-baru ini, NU dan Muhammadiyah juga meminta pemerintah menunda pilkada desember 2020 nanti. Sebab, rawan penyebaran covid yang akhir-akhir ini makin menghawatirkan. Tingkat penyebaran di atas 4000 orang perhari. Angka kematian di atas 100 orang perhari. Sementara, pemerintah selama ini tak cukup bisa dipercaya mampu mengendalikan dan mengatasi covid. Ini catatan dan fakta obyektif.
Meski diprotes banyak pihak, tak ada tanda-tanda Jokowi akan menunda pilkada. Berbeda dengan rakyat, pemerintah merasa yakin bahwa penyebaran covid bisa dikendalikan. Karena itu, tak harus menunda pilkada.
Belum tahu apa strategi pemerintah sehingga begitu yakin mampu mengendalikan penyebaran covid-19 saat pilkada. Apakah pemerintah hanya akan mengijinkan kampanye digital via media dan medsos? Atau akan melakukan operasi yustisi di musim kampanye dan saat pencoblosan?
Pemerintah harus memberi alasan “masuk akal” terhadap rakyat yang sedang panik dihajar covid-19 gelombang kedua ini. Pertama, pemerintah harus meyakinkan rakyat bahwa pilkada memang sangat urgent, karena itu tidak bisa ditunda. Kalau ditunda akan mengakibatkan dampak yang serius. Pemerintah harus menjelaskan “dampak serius” yang akan terjadi jika pilkada ditunda.
Jika pilkada ditunda, maka ada 270 plt kepala daerah. Para ptl kepala daerah tidak bisa ambil kebijakan strategis. Padahal, saat pandemi dibutuhkan kebijakan strategis, kata Mahfuz MD. Ini alasan mengada-ada. Sama sekali tidak meyakinkan. Kalau terpaksa, apa susahnya bikin aturan baru untuk mengatur kewenangan plt.
Kedua, pemerintah harus menjamin bahwa penyebaran covid-19 tidak akan terjadi saat pilkada diselenggarakan. Strategi apa yang pemerintah akan lakukan perlu diungkapkan agar rakyat bisa percaya dan menjadi tenang. Strategi itu mesti terukur. Bukan tebak-tebak buah semangka.
Jika pemerintah gak mampu memberi dua alasan di atas, atau gagal membeberkan analisis statistik yang meyakinkan, ini sama artinya menantang maut. Wajar jika kemudian rakyat menduga-duga bahwa kebijakan ini diambil lantaran anak dan menantu presiden ikut pilkada. Yaitu Gibran di Solo dan Bobby di Medan.
Alur pikiran rakyat sederhana. Bahwa ongkos (cost) politik untuk jadi calon kepala daerah itu sangat mahal. Semakin diundur, semakin besar ongkos yang harus dikeluarkan.
Pilkada 2020 sedianya digelar 23 September, lalu diundur 9 desember. Mau diundur lagi? Ya ampuuun, kata para calon. Bandar bisa tekor.
Jelang pilkada desember 2020, para calon sudah keluarkan dana cukup besar. Setidaknya untuk mahar partai, biaya survei dan konsolidasi, serta biaya pemanasan kampanye. Kalau ditunda, semua biaya-biaya itu dipastikan akan membengkak.
Tentu, semua biaya itu bukan seluruhnya dari kocek pribadi calon. 92 persen melibatkan bohir, kata Mahfuz. Keterlibatan bohir disini menjadi faktor penting. Sebab, para bohir, terutama kelas kakap, punya akses untuk bisa menekan dan bahkan mengendalikan kebijakan.
Itu baru dana pencalonan. Belum lagi kalau bicara anggaran KPU. Pasti akan ikut bengkak. Di tengah defisit APBN, penundaan pilkada akan membuat negara makin berat. Sekarang aja sudah berat. Saking beratnya, bikin aturan baru agar bisa cetak uang.
Kalau pilkada ditunda, sampai kapan? Adakah yang jamin bahwa awal tahun 2021 pandemi berakhir? Makin lama ditunda, makin besar biaya yang harus dikeluarkan calon dan para bohir itu.
Dalam pilkada yang berlarut-larut, Herd Imunity berlaku. Tidak saja untuk kesehatan, tapi juga politik. Siapa yang kuat dananya akan besar peluangnya jadi pemenang. Calon yang logistiknya cekak akan megap-megap. Yang menang, balik modal gak ya?
Dilematis! Satu sisi ada anak, menantu dan para bohir. Juga pentingnya menyelamatkan negara dari defisit anggaran. Disisi lain, nyawa rakyat terancam covid. Sebagai seorang negarawan, Jokowi mestinya tak perlu terjebak dalam dilema itu. Utamakan nyawa rakyat, itu tugas seorang negarawan. Kecuali jika ingin jadi pecundang.
Kalau dari awal pandemi Jokowi punya pilihan dan ketegasan keberpihakan pada nyawa rakyat, tak perlu banyak jiwa melayang dan alami resesi ekonomi berkepanjangan. Artinya, kebijakan pemerintah selama ini keliru menaruh pilihan.
Sebelum pemerintah memiliki keyakinan mampu menjamin keselamatan rakyat dari ancaman covid akibat kerumunan kampanye dan pencoblosan di pilkada, maka menunda itu lebih bijak. Ini sekaligus sebagai langkah akomodatif terhadap harapan rakyat yang diantaranya disuarakan NU dan Muhammadiyah.
Jika pilkada dipaksakan, dan terbukti nanti terbentuk cluster penyebaran, maka pemerintah, dalam hal ini Jokowi, akan semakin defisit kepercayaan.
Ketika pasca pilkada jumlah terinfeksi makin banyak dan angka kematian akibat covid-19 bertambah, ini bisa jadi anti klimaks di tengah krisis ekonomi yang sedang melanda. Saat itu, nasib Jokowi akan jadi taruhan
Jakarta, 24 September 2020