by M Rizal Fadillah

Mobil Fortuner dengan plat nomer mobil dinas militer sangat viral di Medsos. Masalahnya mobil tersebut ditumpangi oleh warga sipil yang diduga suami istri “etnis keturunan cina”. Terlihat dari profil hasil rekaman kamera hand phone seseorang yang mengaku wartawan.

Tentu bukan bermaksud mengangkat aspek etnik tetapi keadaan ini telah membuat sakit hati warga masyarakat. Netizen di media memberi berbagai komentar yang intinya “Cina nginjak”. Menginjak pedal gas untuk kabur dan tidak melayani pertanyaan. Siapa dia, mobil siapa, gejala sosial apa, serta tindakan apa yang bisa berefek jera ?

Akhirnya diketahui juga pengguna mobil Noreg 3688-34 tersebut adalah Hendra Winata alias Ahong yang menurut keterangan bahwa Noreg itu sebenarnya telah ditarik oleh Puspomad atas nama Kol CPM Bagus Heru yang pensiun tahun 2016.
Mengapa noreg 3688-34 yang katanya sudah ditarik masih bisa ” berkeliaran” ? Memerlukan pengusutan lebih lanjut.

Kaitan dengan peristiwa tahun 2016 kita teringat juga tertangkapnya mobil dinas tentara yang dikendarai dan dimiliki oknum etnis cina. Di Jawa Timur persisnya di Genteng antara Surabaya Banyuwangi. Mobil Noreg 99457 V ternyata pemiliknya adalah Gavin Tjandra Laksana. Kasus ini menguap tak terusut.

Tentu masih banyak kasus serupa di berbagai daerah, hanya saja karena “tak terekam” maka si mobil lewat-lewat begitu saja. Entah ada proses atau selesai dengan damai atau si petugas mendapat telepon dari “atas” lalu si tertangkap dilepas lagi. Urusan model memang bisa bervariasi. Satu kesamaan dalam kasus-kasus seperti ini adalah “Cina nginjak”.

Kesenjangan sosial antara “etnis keturunan cina” dan “pribumi” cukup tinggi. Sejarah memang telah mencatat cukup lama. Status ekonomi yang timpang menciptakan kecemburuan. Gaya berstatus “tuan” sering menjengkelkan. Eksklusif dan cenderung “menguasai”. Dulu ada kebijakan pembauran dalam rangka menghindari perilaku seperti ini. Kini tak ada lagi.

Ketika program investasi Cina meningkat, hubungan RI-RRC semakin erat, Partai Komunis Cina menginjakkan kaki di Istana, TKA Cina datang dan sulit dihadang, pemilikan tanah sampai ke desa, serta isu komunisme yang menghangat, maka persoalan “Cina nginjak” menjadi bertambah rumit. Sentimen etnik dapat bereskalasi dan tentu tidak bagus bagi harmoni negeri.

Pemerintah harus segera bertindak.

Pertama, usut terus Hendra Winata akan motif dan sanksi pelanggaran. Mengapa plat nomor reg milik Kol CPM Bagus Heru ada pada Ahong. Modus “pembekingan” atau gaya-gayaan semata ?

Kedua, redam emosi dan sentimen publik yang bagai api dalam sekam dengan kebijakan politik dan hukum yang tidak diskriminatif.

Ketiga, tinjau ulang pengentalan garis “persahabatan” RI-RRC yang berspektrum ekonomi, politik, dan ideologi. Kembalilah kepada politik luar negeri “bebas aktif”.

Keempat, stop impor TKA Cina karena di samping menggeser lapangan kerja warga, juga rawan penyusupan tentara atau milisi Cina.

Kelima, lakukan sensus penduduk dan buat peta sebaran etnik, karena dikhawatirkan ternyata totalitas etnik Cina meningkat tajam. Bhineka Tunggal Ika tidak boleh didalihkan untuk sesuatu yang dapat membahayakan negara.

Kasus “tertangkap” kamera yang viral dari tuan Hendra Winata alias Ahong harus dijadikan awal dari pembenahan kebijakan ke depan tidak ada lagi perilaku menyakitkan kepada warga dan bangsa Indonesia.
Jitaklah “Cina nginjak”.

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Bandung, 3 Oktober 2020