OLEH Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Tengah malam, tanggal 5 oktober 2020 RUU Omnibus Law Cipta Kerja diketuk, dan disahkan jadi UU. Kenapa tengah malam? Kenapa harus di luar waktu umumnya orang bekerja? Sangat mendesakkah? Pertanyaan-pertanyaan ini terus ada di pikiran rakyat.

Rakyat protes. Terutama kaum buruh, mahasiswa, pelajar, dan ormas Islam. Esok harinya, tanggal 6 Oktober 2020, demo terjadi di berbagai wilayah. Serentak. Tumpah ruah mahasiswa, pelajar, buruh dan sebagian aktifis di depan istana, kantor kepala daerah, DPR dan DPRD.

Di sejumlah wilayah, para pendemo bersitegang dengan aparat kepolisian. Saling dorong, dan lempar batu. Sejumlah demonstran kena gebuk, tonjokan dan tendangan aparat. Entah sudah berapa korban berjatuhan, mobil dan fasilitas umum juga ada yang terbakar. Rusuh! Siapa pemicunya? Demonstran selalu disalahkan!

Satu tuntutan mereka: Omnibus Law dibatalkan. Titik! Kenapa? Pertama, cacat prosedur. Memang ada diskusi. Panggil buruh, perwakilan ormas dan para akademisi yang kompeten untuk ikut membahasnya. Tapi, semua hasil diskusi dicatat, dijanjikan, tapi setelah itu dibuang ke tong sampah. Pasal-pasal yang diprotes tetap masih ada saat diketuk jadi UU.

Kedua, sejumlah pasal UU Omnibus Law Cipta Kerja merugikan rakyat. Diantaranya kaum buruh dan lembaga pendidikan. Hak-hak mereka dipreteli. Pesangon ada, tapi berkurang. Upah minimum ada, tapi disesuaikan dengan korporasi. Soal PHK, perusahaan lebih leluasa. Kontrak kerja bisa terus diperpanjang. Belum lagi soal cuti dan seterusnya.

Dua sasaran protes demo kali ini. Pertama, DPR. DPR lah yang mengesahkan UU Omnibus Law Cipta Kerja ini. Kedua, presiden. Sebab, UU Omnibus Law Cipta Kerja berasal dari pemerintah. Pemerintah yang usul ke DPR.

Dalam pembahasan di DPR, presiden utus sejumlah menteri untuk hadir dan mengawalnya. Disinilah tampak kerjasama yang kompak antara pemerintah dan DPR. Antara eksekutif dan legislatif. Irama kekompakan ini sebenarnya sudah terbaca saat keduanya bersepakat “matikan KPK” melalui revisi UU. Saat itu, demo meluas dan dua mahasiswa kendari jadi korban. Peristiwa itu seolah sudah terlupakan.

Para pendemo minta presiden menemui mereka, dengarkan aspirasii dan tuntutanya. Tapi, presiden tak ada di tempat. Mungkin bagi presiden, UU Omnibus Law Cipta Kerja sudah diketuk dan disahkan. Jadi, untuk apa dibahas lagi. Kehadiran perwakilan mahasiswa, buruh dan ormas untuk ketemu presiden sepertinya dianggap tidak terlalu penting.

Jokowi justru memilih ke Kalimantan Tengah, setelah lebih dulu ke Jogja dan nginep di Gedung Agung. Sempat berziarah ke makam ibu dan bapaknya. Peristiwa ini dimaknai Ki Surau sebagai langkah untuk ambil kekuatan Spiritual, agar gak lengser. Rakyat gak kenal siapa Ki Surau ini. Validkah fatwanya?

Kepergian Jokowi ini mengingatkan memori kita pada demo 411 (4 november) terkait penistaan agama (Ahok). Perwakilan ulama minta ketemu Jokowi di Istana. Tapi, karena dianggap gak terlalu penting, Jokowi lebih memilih pergi ke Cengkareng, menengok project kereta bandara. Para ulama kecewa, dan meledaklah demo 212. Sekitar tujuh juta umat Islam hadir.

Apakah mahasiswa, pelajar, buruh dan ormas yang kecewa karena ditinggal pergi Jokowi ke Jogja dan Kalimantan Tengah akan datang lagi dengan massa yang jauh lebih besar sebagaimana demo 212? Seberapa besarkah spirit dan semangat para mahasiswa, buruh dan ormas ini memperjuangkan aspirasinya?

Ini akan sangat bergantung seberapa besar keteguhan para pimpinan mahasiswa, sebagai pihak yang mengkonsolidasikan massa, baik BEM maupun organisasi ekstranya seperti HMI dan PMII untuk tetap konsisten menjaga idealismenya dalam memperjuangkan nasib rakyat. Tidak “nglokro” dan masuk angin. Sebab, penguasa tidak akan diam dan intel akan terus bergerilya. Tawaran dan ancaman boleh jadi silih berganti datang.

Di tengah kekecewaan buruh, pelajar, terutama mahasiswa yang gagal menemui Jokowi di Istana, Anies, gubernur DKI Jakarta turun ke lapangan. Di malam hari. Saat kekecewaan mereka membucah dan sempat menaikkan eskalasi ketegangan antara para demonstran dengan aparat keamanan.

Di tengah ratusan, mungkin ribuan massa, Anies yang didampingi Kapolda Metro Jaya dan Pangdam Jaya minta kepada mereka menyampaikan aspirasinya. Satu persatu hingga tuntas. Para mahasiswa yang hadir malam itu antusias menyampaikan harapannya. Keluarkan semua uneg-unegnya. Detil dan lengkap. Mantan ketua BEM UGM yang sudah jadi orang nomor satu di DKI ini dengan serius dan sabar mendengarkannya. Setelah semua aspirasi tersampaikan, Anies dengan tenang bicara kepada mereka.

“Semua aspirasi ini sudah direkam dan dipastikan akan disampaikan. Mohon untuk dikawal dan dipantau. Ini bagian dari hak demokrasi kita”. Kata Anies.

Anies juga sarankan kepada yang hadir malam itu untuk pulang dengan tertib. “Memperjuangkan hak rakyat harus dengan menjaga rasa aman bagi seluruh rakyat. Pastikan masyarakat merasa aman dan nyaman. Maka, Anies minta para demonstran tetap tertib.

Sebelum mengajak para mahasiswa itu pulang, Anies meminta semua yang hadir berdiri dan menyanyikan lagu “padamu negeri”.

Kenapa lagu “padamu Negeri”? Apa pesan dari ajakan Anies dengan lagu ini? “Bahwa kita semua hadir disini berjuang untuk negeri ini. Berjuang dengan jiwa raga yang dimiliki”. Begitulah kira-kira pesannya. Anies ingin para mahasiswa menjaga Komitmennya dan terus berjuang dengan segenap jiwa dan raga untuk negeri ini. Baik ketika masih mahasiswa, atau kelak ketika lulus dan punya posisi sebagai pejabat. Lagu “Padamu Negeri” harus bergelora dan menjadi nafas serta jiwa pengabdian. Itu intinya.

Diterima dan didengarkan aspirasinya, mahasiswa tenang dan senang. Merasa didengarkan, diperhatikan, dihargai dan diayomi.

Begitulah semestinya seorang pemimpin bersikap. Inilah yang dilakukan Anies ketika menghadapi setiap protes rakyat. Tidak pergi, lari dan meninggalkan warganya. Sebab, Anies bukan Pengecut.

Jakarta, 9 Oktober 2020