by M Rizal Fadillah
Ulang tahun satu tahun Jokowi menjabat Presiden periode kedua bulan Oktober ini tidak dalam posisi “happy anniversary” tetapi justru “unhappy anniversary”. Omnibus Law yang diketuk sebagai hadiah ulang tahun menjadi palu godam politik yang membuat Jokowi pusing dan ruwet. Berjalan pun nampaknya bakal limbung.
Demonstrasi masif menandai “Oktober Prihatin”. Jengkel, kecewa bahkan mungkin muak pada cara Jokowi mengelola negeri. Asal-asalan membuat perencanaan tanpa manajemen matang dan konsisten. Omnibus Law hanya salah satu cara mempermainkan hukum demi kepentingan politik. Disangka dengan otak atik legitimasi Pilpres maka segalanya beres.
Nampaknya Jokowi tidak mengenal apa dan bagaimana yang namanya sejarah. Mengabaikan dan memusuhi rakyat adalah hitungan mundur untuk dimundurkan.
Goyah di ujung tanduk karena bermain-main untuk merealisasikan misi sesat. Diawali dengan memusuhi umat Islam melalui rekayasa RUU Haluan Ideologi Pancasila yang gagasan atau prakarsanya adalah PDIP melalui kadernya Rieke Dyah Pitaloka. Umat Islam melawan hingga MUI yang biasa berada di “tengah” pun membuat “political distancing” dengan produk Maklumat yang cukup keras.
Umat Islam telah memukul keras RUU HIP agar masuk gorong-gorong sementara RUU BPIP layu sebelum berkembang. Keduanya dalam keadaan “hidup segan mati tak mau”. Mundur kena maju kena. Hal ini adalah akibat dari ulah DPR yang mempersetankan aspirasi rakyat dan terjebak pada domein kekuasaan dan mungkin juga besaran bayaran.
Banteng coba menanduk rakyat dengan beringas. Tanduk satu RUU HIP-BPIP yang berbau komunis dan tanduk satu lagi RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang berbau kapitalis. Ideologi Pancasila dicoba untuk digoyahkan. Presiden yang loncat-loncat dari tanduk kiri ke tanduk kanan mencoba berpegangan erat untuk tidak jatuh.
Ada saatnya rakyat melawan rezim.
Rezim yang menganggap aspirasi rakyat sesuatu yang enteng. Sejarah bergulir menuju ke arah perubahan. Omnibus Law adalah pintu pembuka gelombang rakyat melawan kesewenang-wenangan. Jokowi semakin di ujung tanduk.
Banteng Puan lesu tertunduk. Cari celah simpati dengan aturan turunan. Tapi itu mempertontonkan kebodohan. Aturan derivasi tak boleh bertentangan dengan undang-undang. Omnibus Law membawa malapetaka. Tanduk Joko dan tanduk Puan mulai retak hampir patah.
Saat ini Jokowi berada di ujung tanduk dari banteng yang dikendarainya. Esok, terpeleset kah ? Terinjak-injak kah ? Atau terjatuh ke pasir hisap yang menenggelamkan kekuasaannya dengan pelan-pelan ?
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 9 Oktober 2020