Halte Transjakarta di Jalan MH Thamrin Jakarta Pusat dibakar pada demo tolak UU Omnibus Law/ist

OLEH Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Bukan hanya DPR, presiden juga diprotes buruh, mahasiswa, pelajar dan ormas terkait disahkannya UU Omnibus Law Cipta Kerja. Protes pertama, karena UU Cipta Kerja ini berasal dari usulan pemerintah. Protes kedua, Jokowi pergi dan meninggalkan istana saat mahasiswa dan buruh minta ketemu.

Demo terjadi tanggal 6-8 oktober di berbagai wilayah. Serentak. Tidak saja buruh, para mahasiswa dan pelajar ikut ambil bagian. Turun ke jalan dan melakukan protes.

Pelajar tahu apa soal UU Omnibus Law, kok ikut-ikutan demo, keluh para pejabat. Kalau presiden dan DPR ingin tahu hati dan kondisi rakyat, tanya pada kami, jawab pelajar tegas. Hehe… Emang presiden dan DPR gak tahu ya?

Tiga hari demo, gelombang massa makin membesar. Eskalasi ketegangan makin tinggi. Terutama antara aparat dengan mahasiswa. Puncaknya, dan ini sangat disayangkan, terjadi bentrokan. Banyak korban luka, bahkan ada yang kritis.

3.862 demonstran telah ditangkap. Kita berharap, mereka diperlakukan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Menindak yang salah, dan melepaskan yang tidak bersalah. Dan tidak berlebihan dalam memperlakukan pihak yang “dianggap bersalah” .

Sejumlah fasilitas umum rusak. Mobil, pos polisi dan halte terbakar. Siapa pelakunya? Hamengku Buwono X bilang: itu dilakukan oleh kelompok tertentu. Pelakunya bukan demonstran. Gubernur DIY mengaku tahu siapa pelaku itu. Ini by design, kata beliau. Sangat yakin. Kalau by design, berarti kelompok itu bekerja profesional.

Memang, viral sejumlah video yang sepertinya mendukung pernyataan gubernur DIY itu. Jika apa yang diungkap sang gubernur itu benar, maka muncul pertanyaan: pertama, siapa perusuh profesional itu? Kedua, apakah setiap terjadi demo besar-besaran selalu ada kelompok perusuh profesional yang dikirim untuk merusak demo? Ketiga, kenapa perusuh profesional itu tak pernah tersentuh hukum? Keempat, pasti ada target. Apa targetnya?

Di Jakarta, ada halte busway yang dibakar. Siapa pembakarnya? Kelompok profesionalkah? Apakah ada kaitan dengan Anies, Gubernur Jakarta sebagai obyek sasarannya? Kalau fasilitas umum yang dibangun Anies dirusak, maka akan memberi kesan seolah-olah demonstran marah sama Anies.

Beruntung Anies jumpai para demonstran. Dan skenario membagun “kesan kebencian” terhadap Anies hilang. Sebaliknya, pertemuan itu justru memberi kesan bahwa Anies diapresiasi buruh dan mahasiswa, bukan dibenci.

Pengrusakan fasilitas umum milik Pemprov DKI telah menyisakan persoalan tersendiri. Pemprov DKI terpaksa harus mengeluarkan anggaran cukup besar untuk membangun kembali fasilitas umum yang telah dirusak. Dalam kondisi anggaran di masa pandemi seperti sekarang, ini jadi persoalan tersendiri

Sedih! Prihatin! Kenapa hampir setiap terjadi demo besar, selalu memakan korban dan terjadi pengrusakan. Tidak siapkah negara ini berdemokrasi?

Di tengah jatuhnya banyak korban, Jokowi berpidato. Perintahkan aparat untuk menindak tegas siapapun yang melanggar hukum saat demo.

Instruksi Jokowi benar. Gak ada yang salah. Tapi, dalam situasi saat ini, instruksi itu justru akan menambah ketegangan. Apakah situasi sudah teramat gawat, sehingga presiden harus menunjukkan kekuatan aparatnya?

Akan lebih bijak jika pidato presiden berisi himbauan agar buruh, mehasiswa dan pelajar menyampaikan aspirasinya dengan tertib. Tidak terprovokasi untuk melakukan tindakan yang melawan hukum. Kepada aparat keamanan, presiden bisa himbau untuk tetap disiplin menjalankan tugas dan tidak melampaui batas kewenangannya dalam menangani demonstran. Lebih mengedepankan dialog dan langkah persuasif dengan para demonstran.

Jika himbauan ini yang disampaikan presiden, maka ketegangan bisa diredakan. Apalagi jika presiden juga memberi ruang bagi buruh, mahasiswa, akademisi dan perwakilan ormas untuk bertemu dan berdialog, mungkin situasi akan lebih tenang.

Inilah yang seringkali menjadi kelemahan pemerintahan saat ini. Kurang pandai dalam mengakses jalur-jalur komunikasi yang tepat dengan kelompok-kelompok yang punya pengaruh terhadap rakyat. Akibatnya, bangsa ini terus dilanda kegaduhan.

Jangan selalu mencari kambing hitam terkait dengan kegaduhan selama ini. Semua tetap kembali kepada leadership seorang pemimpin. Cara berkomunikasi, sikap dan kebijakan pemimpin menjadi faktor utama. Dalam konteks ini, presiden mesti mau melakukan evaluasi.

Saat ini, rakyat butuh pemimpin yang menenangkan. Bukan pemimpin yang membuat rakyat makin berang.

Jakarta, 10 Oktober 2020