by M Rizal Fadillah
Penanganan aksi demonstrasi buruh dan mahasiswa di hari-hari mogok nasional buruh 6-8 Oktober 2020 ternyata di luar gambaran Polisi sebagai pengayom masyarakat. Brutal dan seperti ada “balas dendam” kepada peserta aksi. Karena diserang ? Semua hampir mafhum bahwa penyerang adalah “tangan buatan” dari berbagai kemungkinan kepentingan termasuk Polisi sendiri.
Sejak peristiwa 21-22 Mei 2019 Penanganan Polisi sangat brutal. Penganiayaan dan pembunuhan pun terjadi. Dasar alasan adalah kerusuhan. Jadi terbayang dahulu sewaktu Soekarno menganggap terbunuhnya para Jenderal sebagai “lumrah dalam revolusi”. Kebrutalan Polisi tanpa pengusutan. Yang ada hanya hukum disiplin pada beberapa yang dianggap menyalahi prosedur. Indikasi keberadaan sniper juga terendus.
Lalu tampilan brutal juga saat aksi penolakan revisi UU KPK. Mahasiswa tewas dan anak STM teraniaya. Yusuf Kardawi dan Randi tewas di antaranya. Unjuk rasa terjadi dimana-mana baik di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Makasar, Kendari dan daerah lainnya. Tuntutan dikeluarkan Perppu tidak digubris oleh Pemerintah. KPK pun lumpuh pasca terbit Undang-Undang.
Selalu menjadi pertanyaan dalam benak ini mengapa penanganan unjuk rasa yang tersiar juga di berbagai media dunia selalu terlihat brutal ? Padahal Jokowi Presiden Indonesia terlihat “calm” atau dingin.
Mungkin, beberapa hal :
Pertama, pola pembinaan yang keliru kurang memberi asupan materi tentang humanisme, hak asasi manusia, etika, dan nilai moral. Di samping dorongan pelaksanaan Pancasila dan pendalaman agama khususnya tentang kesalehan dan dosa.
Kedua, orientasi program Pemerintah yang materialistik dan pragmatik sehingga aparat didoktrin sangat protektif. Menekan pelawan kebijakan dinilai sebagai pembelaan negara. Unjuk rasa dipandang sebagai anti negara yang harus “dihukum”.
Ketiga, brutalisme adalah missi sengaja untuk menakuti. Brimob berkarakter Tentara diterjunkan saat demo. Pasukan elit paramiliter ini bersenjata berat. Bawaannya adalah “perang” dengan musuh.
Keempat, keeratan kerjasama dengan RRC. Tahun 2016 belasan perwira Polri belajar di Changsa Cina untukmendalami cyber crime. Tahun 2017 sebanyak 60 perwira tinggi peserta Sespimti melakukan KKN di Beijing dan Shanghai ke Kepolisian RRC. Meski tak jelas efek kerjasama tetapi semua tahu Polisi RRC termasuk yang brutal dalam menangani aksi unjuk rasa.
Kelima, ada modus sama pemantik tindakan keras adalah “kelompok hitam” yang memancing baik lempar batu maupun bakar bakar. Pola sama yang sebenarnya mudah untuk ditindak dan diusut tentang keberadaan “kelompok hitam” sang jago pancing dan rusuh tersebut.
Terlepas dari semua itu namun sikap brutal bukan saja merugikan pencitraan Polri sendiri tetapi juga Pemerintah Indonesia dalam kaitan penghargaan HAM. Di sisi lain jika tak ada evaluasi bisa saja rakyat atau pengunjuk rasa terpaksa harus membela diri dengan “mempersenjatai” diri dalam berunjuk rasa.
Jika preman dibiarkan membantu Polri memakai kayu pemukul, kelak pengunjuk rasa juga bersiap siap dengan kayu pemukul pula.
Ini tentu tak boleh terjadi.
Semoga ada perubahan penanganan seperti yang diniatkan Kapolri Idham Azis saat memulai menjabat Kapolri.
Lebih manusiawi.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 12 Oktober 2020