SELAMA bertahun-tahun pemerintah maupun pengusaha China telah mengincar kawasan Asia Tenggara sebagai “tanah masa depan” . Boleh jadi, itulah alasan yang mendorong pemerintah China, memperkuat dan memperluas pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara setelah menguasai kawasan Laut China Selatan.
Sihir pun sudah ditiupkan untuk menegaskan pengaruh China. Mereka berharap para generasai milenial — konsumen potensial — di kawasan Asia Tenggara menjadi kecanduan produk-produk teknologi China, seperti aplikasi Tik Tok dan Bigo. Jika maraknya kedua aplikasi tersebut sebagai suatu indikasi keberhasilan China menyihir generasi milenial di Asia Tengara.
Tidak hanya itu, China juga mulai memanfaatkan sumberdaya alam kawasan Asia Tenggara, yang melimpah ruah dan menguntung dari segi bisnis. Beberapa pekan lalu, Agritech — perusahaan raksaksa ecommerce China, melakukan aksi borong buah-buahan dan sayur mayor dari kawasan Asia Tengara dalam jumlah besar untuk kemudian dikapalkan ke negerinya. “Buah Durian mendadak menjadi hot komoditi di dalam negeri China,” ungkap wartawan Tech In Asia, Nicole Jao, menyusul aksi borong Agritech (13/10/2020).
Tentunya, perusahaan Agritech – perusahaan China yang berinvestasi di kawasan Asia Tenggara – sangat diuntungkan, mengingat buah-buahan dan sayur mayur dari kawasan Asia Tenggara terbilang murah dan ternyata digemari konsumen dalam negeri China.
Secara umum, perdagangan dan perniagaan antara China dan negara-negara di Asia Tenggara diperkirakan akan kembali meningkat. Banyak perusahaan-perusahaan China sudah menyiapkan sendiri strateginya masing-masing agar bisa “diterima”, mengingat mereka berada di lingkungan yang jauh dari kampung halaman mereka.
Situasi yang “memanas”, adanya perlawanan India dan Amerika Serikat terhadap China, tidak mengendurkan hasrat pemerintah serta pengusaha China mendulang keberuntungan di negara-negara Asia Tenggara. Singapura misalnya. Secara politis sangat netral dan lebih memikat bagi perusahaan-perusahaan China untuk berinvestasi dengan dukungan para taipan di negeri itu yang tajir melintir tujuh turunan.
Singapura no problem. Tapi bagaimana dengan negara-negara lainnya di kawasan Asia Tenggara? Indonesia, boleh jadi dipandang lebih bersahabat dan sangat terbuka, mengingat sejauh ini modal (investasi) dari China begitu bebasnya merambah ke berbagai sektor perekonomian. Salah satunya, bisnis kelas Warung, yang bakalan jadi sasaran gempuran investasi China, setelah Gojek ikut terjun ke gelanggang persaingan.
Jangan salah! Ada jutaan Warung yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia, sehingga bisa diperkirakan berapa jumlah peredaran uang setiap harinya, menjadi tulang punggung perekonomian informal. Gambaran ini, setidaknya telah membuka mata para investor China, terlebih setelah Bukalapak dan Tokopedia sukses mengembangkan bisnis kelas Warung. Belakangan, Gojek ikut terjun dengan meluncurkan pelayanan GoToko, menggandeng Uniliver selaku produsen produk kebutuhan masyarakat sehari-hari yang lazim nangkring di rak warung-warung di luar produk rokok.
Jalan masuk sudah terbuka lebar-lebar. Mulai dari Presiden RI sampai gubernur – salah satunya Gubernur Jawa Barat – sudah menggelar karpet merah bagi investor China tanpa harus berfikir panjang mengenai kemungkinan terjadinya friksi atau gesekan sosial antara pendatang dan warga pribumi seperti diingatkan para analis manajemen risiko. Pokoknya mah wilujeung sumping….
Berbeda dengan Vietnam, China merupakan sensitive topic yang membuat banyak perusahaan-perusahaan pribumi di negeri tersebut menjaga jarak, meski sebenarnya mereka menjalin hubungan erat dengan perusahaan-perusahaan China.
Ini pula yang menyebabkan mengapa perusahaan-perusahaan China, yang akan menangani berbagai peluang usaha, salah satunya bidang Teknologi Pendidikan, tidak mendapatkan kebebasan sebebas-bebasnya. Mereka diperlakukan secara hati-hati.
Tidak kehabisan akal. Para pengusaha China lantas mencari jalan, berinvestasi di Vietnam dengan dukungan negara-negara netral yang beroperasi di Vietnam. Shopee, Lazada dan Traveloka adalah contoh bagaimana uang China telah bertaburan di Vietnam secara senyap. “Tidak penting kucing itu hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus,” begitulah pemahaman mereka.***