Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi
Ditengah pandemi covid 19, publik kembali dikejutkan oleh laporan Bank Dunia yang bertajuk International Debt Statistics (IDS) 2021 (Statistik Utang Internasional) pada 12 Oktober 2020 lalu yang memuat tentang peringkat negara-negara dengan Utang Luar Negeri (ULN) terbesar. Dan, ternyata Indonesia masuk menjadi salah satu diantaranya dengan jumlah Utang Luar Negeri (ULN) sampai Tahun 2018 sejumlah US$402,08 Miliar atau setara Rp5.910,57 Triliun (kurs 1 dollar=Rp14.700). Meskipun publikasi data itu mendapat bantahan dari pihak Kementerian Keuangan dengan menyatakan, bahwa laporan dari Bank Dunia tidak tepat. Sebab, lembaga ekonomi dan keuangan internasional itu menggunakan basis data ULN Indonesia sebagai pembanding jumlah utang luar negeri negara lain di kategori penghasilan rendah dan menengah.
Pertanyaan selanjutnya yang relevan atas publikasi data peringkat negara pengutang terbesar itu adalah, untuk apa dan kemana alokasi ULN itu dimanfaatkan serta efektikah pengelolaannya? Bukanlah bantahan yang harus dilakukan sebagai sikap reaktif atas publikasi Bank Dunia itu, sementara Menteri Keuangan RI Sri Mulyani atas prestasi ULN itu telah memperoleh penghargaan sebagai Menteri Keuangan terbaik didunia karena membawa Indonesia dalam posisi sebagai negara berpenghasilan menengah?
Daftar peringkat negara yang terbesar ULN nya berdasar Laporan Bank Dunia itu merupakan jumlah total dari suatu negara atau tidak memisahkan antara utang pemerintah dan swasta. Jika dibandingkan dengan 10 negara yang disebutkan dalam laporan Bank Dunia itu, maka sebagian besar utang pemerintahnya di atas 50 persen, walaupun posisi Indonesia tidak jauh berbeda yaitu 49 persen, berada pada peringkat ke-7 bersama satu negara anggota ASEAN lainnya yang berada diperingkat 10. Inilah kenyataan empirik tingginya ULN Indonesia sebagai konsekuensi masuk dalam jajaran negara G20 alias negara dengan skala ekonomi terbesar di dunia, yaitu berada di peringkat ke-16 dan dengan utang besar diantara negara-negara tersebut.
Kinerja Ekonomi Dengan Utang
Selanjutnya, berdasarkan bahan paparan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, pada Hari Senin tanggal 7/9/2020, rasio utang tercatat sebesar 34,53 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Walaupun tingkat rasio utang hingga Agustus 2020 tersebut telah mendekati sasaran (target) yang diinginkan pemerintah yang berada di kisaran 37,6 persen, seharusnya kinerja pengelolaan ULN yang baik adalah rasio semakin menurun. Bahkan yang tak masuk akal lagi, Sri Mulyani malah kembali menarik utang baru atau pembiayaan utang sebesar Rp810,8 Triliun hingga akhir September 2020. Kenaikan pembiayaan tersebut mencapai 155,1% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu yang hanya Rp 317,9 Triliun ditengah kemerosotan ekonomi (disebut pertumbuhan ekonomi minus) sebesar -5,32 persen pada Kuartal II Tahun 2020 dan berpotensi akan minus lagi lebih dari 3 persen pada Kuartal III Tahun 2020, semakin menunjukkan bukti ULN tak efektif.
Data yang dipublikasikan Kementerian Keuangan menyampaikan soal posisi utang pemerintah di akhir Tahun 2018 yang mencapai sejumlah Rp 4.418 Triliun dan membenarkan, bahwa selama 4 tahun pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), jumlah utang pemerintah naik sejumlah Rp 1.809 Triliun. Pertambahan utang pemerintah Jokowi yang berjalan selama 4 tahun ini, lebih besar ketimbang penambahan jumlah utang di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama 10 tahun (2004-2014) yang mencapai Rp 1.309 Triliun. Meskipun Sri Mulyani menegaskan, utang ini ditarik untuk hal-hal yang produktif, tapi fakta yang terjadi pada kinerja ekonomi makro Indonesia tak produktif.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini membandingkan penambahan utang pada periode 2012 – 2014 dengan periode 2015 – 2017. Pada 2012 – 2014, penambahan utang mencapai Rp 798 Triliun, sementara pada periode 2015 – 2017 tambahan utang mencapai Rp 1.329,9 Triliun. Pada periode 2012 – 2014. total tambahan utang tersebut dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur sebesar Rp 456,1 Triliun, sektor pendidikan Rp 983,1 Triliun, sektor kesehatan Rp 146,4 Triliun, sektor perlindungan sosial Rp 35,3 Triliun, dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dan dana desa Rp 88,6 Triliun.
Sementara pada periode 2015 – 2017, tambahan utang di era Jokowi-JK dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur sebesar 904,6 Triliun, sektor pendidikan Rp 167,1 Triliun, sektor kesehatan Rp 249,8 Triliun, sektor perlindungan sosial Rp 299,6 Triliun, dan DAK Fisik dan dana desa Rp 315,9 Triliun. Jadi ini 8 kali lipatnya, tetapi kalau dilihat pengaruhnya pada angka kemiskinan yang diklaim turun, rasio gini nya tidaklah terlalu jauh bergeser. Angka rasio gini selalu naik turun pada interval angka 0,39-0,41 bukanlah sesuatu capaian yang baik, apalagi maksimal dikemudikan (debt driven) oleh utang dan lebih banyak dipengaruhi oleh variabel ekonomi lain.
Permasalahan sebenarnya adalah terletak pada kesalahan dalam menetapkan skala prioritas pembangunan, tidak terarah dan terukur dengan baik. Pemerintah justru tidak belajar dari kesalahan ini dan terus menerus melakukan pembangunan infrastruktur, yangmana dalam masa lima tahun terakhir, anggaran infrastruktur terus naik dengan total alokasi anggaran yang telah dibelanjakan (2014-2019) berjumlah Rp1.893 Triliun. Alokasi yang berlebih-lebihan (jor-joran) pada program pembangunan fisik ini selain tidak mempercepat (akselerasi) pertumbuhan ekonomi secara sektoral, regional, dan struktural namun juga mubazir. Sementara, prioritas yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dengan lebih mengutamakan pembangunan Sumberdaya Manusia (SDM) pada periode kedua pemerintahannya belum tampak arahnya sama sekali, sementara utang luar negeri tidak memberikan manfaat dan dampak produktif.
Selain itu, jika dibandingkan dengan kinerja ekonomi makro di era kepemimpinan Presiden SBY selama sepuluh tahun, pertumbuhan ekonomi dapat dicapai rata-rata di kisaran 5-6 persen. Misalnya, laju pertumbuhan ekonomi pada Tahun 2008 yang dicapai sebesar 6,1 persen didukung oleh sumber utama pertumbuhan komponen ekspor 4,6 persen, diikuti konsumsi rumahtangga 3,1 persen, pembentukan modal tetap bruto 2,6 persen, dan konsumsi pemerintah 0,8 persen. Dengan jumlah ULN ditahun tersebut yang sebesar Rp1.636,7 Triliun atau setara US$149,5 Miliar dibandingkan jumlah ULN di era Presiden Joko Widodo Tahun 2018 yang sejumlah Rp4.418 Triliun atau setara US$304, 69 Miliar dan jumlah ULN nya lebih besar sejumlah Rp2.781,3 Triliun namun hanya menghasilkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,17 persen, artinya, pengelolaan alokasi ULN pada era Presiden SBY lebih efektif. Pencapaian pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi pada Tahun 2011, yaitu sebesar 6,5 persen dan yang terendah dicapai pada Tahun 2009 dengan angka pertumbuhan ekonomi sebesar 4,5 persen, dan utang luar negeri yang lebih kecil.
Mengacu pada rekam jejak sejarah utang dari era orde baru sampai saat ini, meskipun berdasar nilainya utang naik, akan tetapi rasio utang pemerintah Indonesia terhadap PDB memang masih jauh dari batas maksimal yang ditetapkan dalam Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebesar 60 persen terhadap PDB. Walaupun begitu, untuk sasaran kemandirian ekonomi tidak mesti ruang aturan yang membebani dalam jangka panjang terkait rasio utang ini dipenuhi, malah seharusnya rasio semakin turun.
Pada era kepemimpinan Presiden SBY justru utang tidak dijadikan sumber utama dalam menunjang pembangunan infrastruktur secara berlebih-lebihan, namun perekonomian berjalan relatif stabil bahkan ditengah krisis subprime mortgage yang menghancurkan likuiditas perbankan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Krisis ini terjadi dari kredit perumahan (mortgage) yang diberikan kepada debitor dengan sejarah kredit yang buruk atau belum memiliki sejarah kredit sama sekali, sehingga digolongkan sebagai kredit yang berisiko tinggi. Penyaluran subprime mortgage di AS mengalami peningkatan pesat yakni sebesar US$ 200 Miliar pada 2002 menjadi US$ 500 Miliar pada 2005.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU), juga menyampaikan perkembangan utang dan rasio utang pemerintah pusat dari masa ke masa, yangmana puncaknya terjadi pada Tahun 1998, ketika krisis moneter menghantam Indonesia. Saat itu, Presiden ke-2 Soeharto yang dilengserkan lewat aksi massa pada bulan Mei 1998 meninggalkan utang sejumlah Rp 551,4 Triliun atau setara dengan US$ 68,7 Miliar, dengan rasio utang mencapai 57,7 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Semenjak terjadinya perubahan cara pemilihan Presiden yang awalnya melalui pemungutan suara di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), lalu menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat, maka estafet kepemimpinan Republik Indonesia selanjutnya diserahkan kepada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Presiden SBY memimpin Indonesia selama dua periode, yaitu
periode I, Tahun 2004-2009, dan periode II Tahun 2009-2014. Pada masa pemerintahan SBY, rasio utang dan nilai utang Indonesia secara periodik adalah: Tahun 2005: Rp 1.311,7 Triliun atau US$ 133,4 Miliar, dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 47,3 persen; Tahun 2006: Rp 1.302,2 Triliun atau US$ 144,4 Miliar dengan rasio utang terhadap PDB 39 persen;Tahun 2007: Rp 1.389,4 Triliun atau Rp 147,5 Miliar, dan rasio utang terhadap PDB sebesar 35,2 persen. Tahun 2008: Rp 1.636,7 Triliun atau Rp 149,5 Miliar, rasio utang terhadap PDB 33 persen.
Dimasa periode kedua pemerintahannya, Tahun 2009: jumlah utang luar negeri Rp 1.590,7 Triliun atau US$ 169,2 Miliar, dengan rasio utang terhadap PDB 28,3 persen. Tahun 2010: Rp 1.681,7 Triliun atau US$ 187 Miliar, dengan rasio utang 24,5 persen terhadap PDB. Tahun 2011: Rp 1.809 Triliun atau US$ 199,5 Miliar, rasio utang 23,1 persen, Tahun 2012: Rp 1.977,7 Triliun atau US$ 204,5 Miliar, rasio utang 23 persen, Tahun 2013: Rp 2.375,5 Triliun atau US$ 194,9 Miliar, rasio utang 24,9 persen, dan Tahun 2014: jumlah utang Rp 2.608,8 Triliun atau US$ 209,7 Miliar, dan rasio utang 24,7 persen terhadap PDB.
Prestasi luar biasa Presiden SBY yang tak bisa dipungkiri adalah berhasil menurunkan rasio utang terhadap PDB Indonesia yang sebelumnya di era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputeri sebesar 56,5 persen pada Tahun 2004 menjadi hanya 24,7 persen pada Tahun 2014 atau turun signifikan sebesar 31,8 persen. Rasio utang yang lebih kecil ini ditunjang pula oleh pertumbuhan ULN relatif kecil, tapi tetap menghasilkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen, berkebalikan dengan yang terjadi pada masa Presiden Joko Widodo walaupun Menteri Keuangan ditempati orang yang sama.
Bandingkan dengan pengelolaan utang dimasa Presiden SBY yang memimpin Indonesia selama rentang 4 tahun juga, rasio utang pemerintah terhadap PDB pada Tahun Anggaran 2018 sebesar 29,81 persen yang lebih rendah 3,49 persen persen, tapi justru pertumbuhan ekonomi lebih rendah sebesar 0,93 persen. Sedangkan pada Tahun 2019 rasio utang mencapai 30,23 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), dan angka tersebut lebih tinggi jika dibandingkan yang dialami pemerintahan Pak SBY dengan selisih lebih besar sebesar 2,07 persen.
Sayangnya selama Sri Mulyani menjadi Menteri Keuangan pada 2 (dua) figur kepemimpinan Presiden RI, yaitu Ptesiden SBY dan Jokowi selama kurang lebih 10 tahun tidak memberikan manfaat dan dampak yang berarti bagi perbaikan mayoritas penduduk Indonesia. Alih-alih peningkatan jumlah utang luar negeri yang drastis dan tajam telah menempatkan Indonesia pada posisi ke-7 negara-negara skala ekonomi menengah dan bawah dengan ULN terbesar. Lalu semakin absurd, kenapa Menkeu melalui stafnya melakukan komplain atas pemeringkatan ULN tersebut, bukankah dengan status negara berpenghasilan menengah ini yang telah membuat Sri Mulyani menjadi Menkeu terbaik dunia? Dengan melakukan penambahan utang baru itu, apa Sri Mulyani hendak menaikkan peringkat Indonesia lebih tinggi lagi dibanding hanya urutan ke-7 dari daftar 10 negara dengan Utang Luar Negeri terbesar?***