Radhar Tribaskoro/ist

Oleh: Radhar Tribaskoro

Koalisi Aksi Menyelamatkqn Indonesia (KAMI) belum mencapai usia 3 bulan tetapi badai telah datang bertubi-tubi.

Pertama, deklarasi pendirian KAMI di berbagai provinsi dan kota/kabupaten mendapat halangan dari aparat polisi. Alasannya Covid, dibuktikan dengan adanya demo keberatan masyarakat. Alasan itu janggal sebab banyak keramaian di tempat sama tidak dipersoalkan. Bahwa alasan tersebut hanya kebohongan terbukti dari pelarangan yg sama atas deklarasi KAMI Jambi yang diselenggarakan secara online. Polisi tetap melarang meski tidak ada demo dan tidak ada keramaian yang signifikan. Di tempat paling banyak hadir 25 orang dengan protokol Covid lengkap. Ini berarti, aparat yang menghambat perkembangan organisasi KAMI memiliki alasan lain di luar kesehatan.

Badai kedua hadir dengan penangkapan sejumlah pimpinan KAMI di pusat dan daerah. Pemerintah, diwakili oleh Menko Perekonomian dan Polhukam, menyatakan bahwa gelar aksi massa sebelum dan setelah penangkapan itu dikendalikan oleh dalang. Tanpa banyak berpikir orang mengasosiasikan penangkapan tokoh-tokoh KAMI itu dengan dalang aksi massa.

*Dua serangan di atas jelas bertujuan melemahkan KAMI.*

Serangan ketiga meletakkan KAMI dalam situasi dilematis. Pemerintah diberitakan bermaksud menyampaikan anugerah Bintang Mahaputra kepada Jendral Pur. Gatot Nurmantyo. Lepas dari alasan-alasan normatif yang disampaikan, anugerah itu seperti mencabik-cabik KAMI. Di satu sisi pemerintah memperalat aparat hukum untuk memukul KAMI, namun di sisi lain memberi tokoh utamanya penghargaan. Ini contoh politik belah bambu, satu bagian diinjak sementara bagian lain di tarik ke atas. *Pro-kontra dengan sendirinya menyeruak di tubuh KAMI*.

Di tengah-tengah badai yang mencabik-cabik, secara tidak terduga sejumlah deklarator KAMI mengumumkan pendirian Partai Masyumi. Pendirian partai politik sejatinya bukan hal baru dan mengkhawatirkan. Sebab sebagian besar pendukung KAMI adalah tokoh yang berpuluh-tahun makan asam-garam kehidupan politik. Persoalannya lebih kepada jatidiri KAMI, akan muncul kerancuan identitas: *apakah KAMI masih suatu gerakan moral?*

Bagaimana tanggapan pimpinan KAMI atas badai yang datang bertubi-tubi ini? Presidium KAMI sendiri belum memberi tanggapan yang komprehensif. Mungkin mereka masih membaca keadaan dan melihat opsi kebijakan. Namun untuk petunjuk kita bisa melihat bagaimana seorang Gatot Nurmantyo merespon keadaan. Seperti diketahui Gatot adalah jenderal kawakan yang tidak bakal membiarkan pasukan terombang-ambing dalam kebingungan. *Kesolidan mental organisasi selalu menjadi prioritasnya.* Itu terlihat dalam berbagai momen yang menghalangi pergerakan dirinya maupun KAMI yg dipimpinnya.

Dalam momen seperti itu ia tidak menunjukkan kemarahan, malah mengucap hamdalah. Baginya halangan dan ancaman adalah berkah yang harus disyukuri. Sebagai berkah, halangan dianggap sebagai ujian untuk meningkatkan kapasitas diri. *Ringkasnya, Gatot melihat semua halangan dan ancaman sebagai cara untuk meningkatkan kapasitas KAMI.*

Dengan semua badai yang ditimpakan, semua pendukung KAMI perlu melihat keberadaan KAMI secara berbeda. KAMI bukan organisasi biasa. KAMI adalah satu-satunya organisasi yang dihantam dengan seluruh kekuatan rejim. Mereka tidak menghendaki KAMI hidup dan berkembang. KAMI harus bubar.

Namun kalau kita membaca secara terbalik, semua upaya rejim itu justru membuktikan bahwa *KAMI telah berada di jalan yang benar. Jalan itu adalah jalan menentang hegemoni rejim saat ini.* Dengan kekuatan akal sehat KAMI telah menunjukkan kekeliruan jalan yg ditempuh rejim, atau paling sedikit telah menunjukkan jalan alternatif yg lebih baik. *Kekuatannya itu menjadikan KAMI organisasi yang paling tidak dikehendaki oleh penguasa.*

Tetapi demokrasi melimpahi KAMI hak berorganisasi. Tidak ada yang bisa dilakukan rejim sepanjang KAMI berjalan sesuai “aturan”. Walau kita tahu aturan bisa dibengkokkan dan “kesesuaian” bisa direkayasa agar tidak sesuai.

Dalam konteks seperti itu KAMI bergeming. *KAMI tidak berubah pendirian dan tetap menyuarakan tegaknya keadilan dan kebenaran.*

Sebaliknya badai-badai itu kita sambut dengan riang-gembira. KAMI bagai bayi Gatotkaca menari di dalam kawah Candradimuka. Dengan kesabaran, kebijaksanaan dan ketajaman berpikir, kita para pendukung KAMI menolak dicerai-beraikan. Kita sudah bersatu dalam cita-cita dan akan tetap bersatu.

Dengan begitu, tekanan justru memperkuat kesatuan massa dengan kepemimpinan.

*Insyaallah, KAMI akan bangkit lebih besar dan lebih kuat!*