Oleh Frans Sarong, Mantan Wartawan Senior Kompas, saat Ini Kepala Bapilu DPD I Golkar NTT
Messah adalah nama salah satu pulau kecil dalam kawasan Taman Nasional Komodo atau TNK di Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Namun dalam peta kawasan TNK, pulau yang merupakan wilayah Desa Pasir Putih, hanya berupa bintik tanpa nama. Padahal penduduknya lumayan padat, hampir 500 kepala keluarga atau sekitar 2.000 jiwa. Bangunan kampungnya pun unik rata-rata ditumbuhi rumah panggung. Itu ciri khas perumahan etnis Bajo, yang keseharian hidupnya tak terpisahkan dari laut.
Memanfaatkan kunjungan keliling Flores dari Ngada hingga Labuan Bajo, kota Kabupaten Manggarai Barat, aktivis kemanusiaan dan pro demokrasi, Natalius Pigai, Senin (23/11/2020), menyempatkan diri berkunjung ke Pulau Messah. Kunjungan itu atas ajakan sahabat kentalnya, Melki Laka Lena, yang kini Wakil Ketua Komisi IX DPR Ri, juga Ketua DPD Partai Golkar NTT.
Menggunakan speedboat yang dinahkodai Ahyar (34), Natalius bersama sahabatnya, Maksi Adipati Pari dan Frans Sarong, tiba di Messah, jelang puncak siang. Entah dari mana informasinya, tampak belasan warga sudah berdiri menunggu di bibir dermaga kayu, sejak beberapa saat sebelum speedboat sandar.
Setelah rebutan berfoto dengan Pigai, mereka dengan penuh keceriaan mendampingi sang aktivis berkeliling kampung hingga titik pertemuan di kediaman H Rasyid yang adalah mantan Kades Pasir Putih. Dari bisik bisik warga sejak dermaga, terungkap kalau mereka sebenarnya sudah tahu siapa tamu tak disangka itu. “Kami bangga karena berkesempatan jumpa langsung Pak Pigai. Sejauh ini tahu beliau hanya melalui televisi,” bisik Halakim (52), warga Messah.
“Pak Natalius Pigai memang baru pertama kali ini berkunjung ke Messah. Namun rata rata warga Messah sudah tahu dan akrab dengan nama beliau,” tambah Ahyar yang juga warga Messah.
Kediaman H Rasyid menjadi titik pertemuan dadakan Pigai dengan puluhan warga Messah. Sang aktivis awali pertemuan dengan sapaan singkat. Setelahnya, warga secara enteng langsung memanfaatkan kesempatan meluapkan kekecewaan mereka akibat berbagai kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak bahkan membuat para nelayan harus menjerit. Antara lain berbagai larangan tanpa solusi. Sebagai misal: larangan menangkap dan usaha dagang mengantarpulaukan anakan lobster. Conton lainnya: larangan memanah ikan apalagi dengan alat bantu kompresor untuk menyelam lebih dalam. Juga jeritan kesulitan air bersih yang tak kunjung teratasi, serta berbagai persoalan lainnya.
Berawal dari tuan rumah, H Rasyid. Kata dia, warga Messah sejak lama menekuni usaha menangkap dan mendagangkan anakan lobster. Alat tangkap yang digunakan ramah lingkungan, hanya mengandalkan rangkaian kertas khusus. Usaha itu menjadi andalan keluarga karena pasarannya jelas dan harganya menggiurkan, Rp 10.000 per anakan lobster. Belakangan, sendi kehidupan nelayan Messah dan sekitarnya oleng setelah Pemda NTT menerbitkan larangan menangkap dan mendagangkan anakan lobster, secara bebas. Usaha itu boleh dilakukan asalkan dengan izin resmi dari Dinas Perikanan NTT.
Sebagaimana diakui H Rasyid dan sejumlah warga Messah – para nelayan dalam format kelompok usaha bersama, sebenarnya sudah menyampaikan permohonan untuk mendapatkan perizinan dimaksud. Perwakilannya bahkan harus ke Kupang untuk urusan perizinan itu. Namun permohonan mereka hingga kini belum juga direspons. “Warga Messah sungguh menyayangkan kebijakan yang hanya melarang tanpa solusi,” keluh H Rasyid kepada Natalius Pigai.
Jeritan lainnya terkait kesulitan air bersih. Pulau Messah dipastikan tanpa sumber air tawar entah di permukaan tanah atau kandungan air tanahnya.
Kebutuhan air bersih bagi segenap warga Messah, harus didatangkan dari daratan Flores di Labuan Bajo. Karenanya, air bersih menjadi komoditi berharga mahal. Setiba di Messah, satu jeriken air (5 liter) dipasarkan seharga Rp 4.000. Normalnya, setiap keluarga membutuhkan sedikitnya 35 liter air (7 jeriken) per hari. Itu berarti pengeluaran setiap keluarga hanya untuk kebuhutan air bersih per harinya paling sedikit Rp 28.000, atau kurang lebih Rp 900.000 per bulan.
Diperoleh keterangan, sebenarnya sejak awal tahun ini sudah tersedia sebuah kapal khusus melayani kebutuhan air bersih bagi warga Messah dan sekitarnya. Sayangnya, sekitar sebulan belakangan kapal khusus itu sudah menghilang entah ke mana.
Ambulance laut
Messa memang serba tertinggal. Dari sisi pelayanan kesehatan, telah tersedia Puskesmas. Namun tak pernah didukung tenaga dokter. Pasien gawat darurat ketika harus dirujuk ke Labuan Bajo, selalu mengalami kesulitan dan tak jarang terpaksa pasrah akibat kesulitan speedboat yang khusus berfungsi sebagai ambulance laut.
Selain itu, TNK yang kawasannya termasuk Messah, dikenal sebagai destinasi wisata yang selalu ramai dikunjungi pelancong dari berbagai penjuru dunia. Agar kebersihan kawasan terjaga; maka sepatutnya disediakan kapal khusus sampah. Kapal itu berkeliling kawasan TNK untuk mengangkut sampah.
Merespons berbagai keluhan bahkan jeritan warga Pulau Messah, Natalius Pigai berjanji akan mengupayakan solusinya terutama terkait kebijakan yang tidak berpihak pada nelayan. “Kalau terkait persoalan kebijakan yang menyusahkan nelayan, saya pastikan akan secepatnya sampai ke telinga Menteri Perikanan dan Kelautan,” janji Pigai.
Sesuai kapasitasnya sebagai Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Melki Laka Lena berjanji akan berusaha serius menghadirkan kapal ambulance bagi warga dalam kawasan TNK. “Tugas saya mengawal hingga kapal ambulance secepatnya bisa mendukung pelayanan kesehatan bagi warga dalam kawasan TNK,” tegas Melki Laka Lena.
Maksi Adipati Pari, anggota DPRD NTT dari Fraksi Partai Golkar, juga berjanji akan mengawal urusan perizinan penangkapan dan perdagangan antar pulau anakan lobsters. “Saya akan tanyakan ke Dinas Perikanan dan Kelautan NTT terkait urusan perizinan itu,” kata Maksi.
Kehadiran dadakan Natalius Pigai di Messah, setidaknya mengembuskan sedikit kelegaan bagi warga setempat. Mereka tidak hanya bangga karena akhirnya bisa bertatap langsung dengan sang aktivis. Lebih dari itu, semoga kehadiran Natalius Pigai sekalian menjadi perantara yang membebaskan para nelayan dari berbagai kebijakan yang menyusahkan.***