Ilustrasi Pilkada

JAKARTASATU.COM – Banyak cerita atau peristiwa feomenal perjalanan spiritual tentang santri yang tadzimnya pada gurunnya sang Kiai. Di kalangan para santri sedikitnya memahami bagaimana berupaya mengaplikasikan dirinya untuk bakti pada kiainya. Apalagi diminta gurunya. Lebih lebih bagi seorang santri yang benar benar nyantri akan mengikuti arahanya karena berharap BAROKAH.

Kata “barokah” sangat populer melebihi apa yang bisa dipahami dari kata itu sendiri. Sehingga kata itu menjadi sakral mempunyai nilai nilai makna tersendiri dan tidak bisa diperoleh dengan cara biasa. Tak sedikit peristiwa dan kisah fenomenal yang begitu kental dan sering diulas di pendidikan pondok pesantren khususnya.

Seorang santri yang begitu takdzim dan rasa bakti pada kiainya karena berharap barokahnya. Dari kisah kisah itu bahwasanya memperoleh barokah dari guru banyak cara melalui proses untuk perolehan barokah yang tidak lumrah. Seperti ada kisah seorang santri yang sehari harinya hanya melinting rokok untuk kiainya, ada yang sering memijat tangan dan kakinya sang Kiai serta merawat ladang ladang milik gurunya. Bisa menjadi orang alim karena kaborakahanya itu.

Kita tahu alim itu orang yang punya ilmu luas. Ulama atau Kiai yang alim adalah ia yang menguasai ilmu agama secara luas. Bukankah itu bagian dari sebuah proses yang tidak wajar jika hanya sekedar melinting rokok, merawat ladang, memijat gurunya atau hal hal lainnya yang serupa bisa membuat si seorang santri itu pandai dan paham tentang ilmu ilmu agama.

Aku percaya barokah itu ada. Alquran sendiri menjelaskan tentang itu. Dari hal hal peristiwa itu sebagai santri meyakininya. Kepercayaan santri pada Kiai dalam rangka ibadah, nilai keihklasan, seperti yang tertuang dalam kitab Ta’lim Muta’allim.

Persepsi santri terhadap kiai. Ketaatan santri pada kiai sebagai manifestasi dari ibadah dan bersedia melaksanakan sepenuhnya yang diperintahkan kiai dengan ikhlas. Pertimbangan berdasarkan kitab Ta’lim Muta’allim adalah sebagai salah satu acuan utama hampir semua pesantren NU (Zakiyah, 2000).

Pada kitab itu disebutkan bahwa seorang santri mencari kerelaan hati guru, harus menjauhi hal-hal yang menyebabkan gurunya murka, mematuhi perintahnya asalkan tidak bertentangan dengan agama.

Ulasan di atas teringat 5 tahun yang lalu. Di pagi hari saat itu aku mencoba ngaderes lagi ngaji mingguan di pesantren Cigonewah, tepatnya tiap hari sabtu. Dengan teman teman lainnya, para ust, dan alumni dari berbagai pondok yang sudah bermukim di pesantren pesantren di bandung. Rutinnitias ngaji mingguan kalau ada waktu ikut mengaji lagi ” sebab kita tau mencari ilmu tak ada akhirnya.

Islam melalui al Qur’an dan Hadits Nabi menganjurkan umat Islam untuk mencari ilmu tanpa mengenal batas waktu, yakni hingga selamanya”.

Dalam minggu selanjutnya saat rutinitas mengaji berjamaah berlangsung.Tiba tiba ada kabar kabar angin riuh dari timur. Kiaiku yang selalu ngawuruk menyampaikan ilmu ilmu yang didalaminya diusung menjadi bakal calon bupati dan terpilih menjadi calon bupati unggulan.

Awalnya kaget. Tetapi, setelah mendengar penyampain langsung dari sang Kyai, sedikitnya kumemahami dan mengapresiasi. Dan mau tidak mau sebagai santrinya aku harus ikut “ngarojong” apalagi diminta.”lilahitaala” berupaya mensukseskan sosok beliau untuk maju. Sekalipun hati kecilku kadang berbicara ” Kiaimah atos we mening ngurus pesantren dan umat akan lebih tenang dan indah untuk kami lebih khusuk belajar ngaji”.

Kenapa ucapan hatiku demikian bukankah santri harus bakti?
Bukan persoalan hal itu, Tetapi hati berkata lain sesuai rabaan burrukku yang kadang suka mengira ngira(kaya para normal wae).!

Sikap dan gaya kiaiku yang sedikit berkaca kaca seperti ada sesuatu hal lain dari sikapnya yang santun tapi tetap dipenuhi guyonan.

Ya’ pada setiap pertemuan langsung denganya. Tegasnya, beliau dalam menyikapi Pilbub santai tidak terlalu ambisius dan haus menjadi bupati.

Singkat cerita sekalipun demikian aku sebagai salah satu santrinya terus berupaya harus takdzim apalgi dimotivasi kaka kandung Kiai, yang notabene berpengalaman dalam dunia politik apalgi mantan WAGUB.

Aku tak mengenal terik matahari. Dan sore malamnya selalu diguyur hujan karena saat itu musimnha. Ampir seminggu empat kali bolak balik berupaya untuk mensosialisakan guruku yang diusung tandang jadi pimpinan bupati.

Pada perjalanan itu terkadang dalam mensosialisakanya selalu ada hal hal yang absurd dan mengganjal pikiran. Bukan dari luar atau lawan politik melainkan dari internal dalam sendiri. Terutama yang mengusung Kiai.

Yang menjadi prihatinku saat ini, sebagai santri NU pada dekade Pilkada lima tahun kebelakang itu tidak sehebat dan segiroh PILKADA tahun 2020 ini yang diusungnya. Padahal di stuasi tahun kali ini dipenuhi berbagai bencana pademi,
konplik sosial dan politik.

Team team partai politik yang mengusung Kiai waktu itu. Saat ini begitu rampak mengebu gebu dan semangatnya berkobar kobar kaya semangat para pejuang bandung lautan api, atau pula para pejuang pejuang mujahid kaum Anshor, semangat menyuarakan atas nama umat Nahdlyiin.

Apa karena sosok yang diusungnya kali ini lebih hebat dari sosok Kiai? Atau berangkat dari kader partai hijaunya yang sudah lama dikenal atau betul betul dari kader NU yang muda berwibawa cerdas, royalitas tinggi dan lebih berpengalaman dari sang Kiai. Yang didampingi wakilnya yang katanya fenomenal dengan populeritas khasnya yang lazim. Ya, didukung juga dengan ketampananya kaya artis di layar kaca yang selalu memicu warga.

Tentu akan banyak dikurumuni ema ema yang pada antri karena ingin selfi. Salahkah sikap itu? Menurut hematku biasa biasa saja dalam hal pulitik lebih lebih dalam budaya perselfian. Sebab “selfi” dan populeritas ketampanan sudah bagian trendi politik kekinian”.
Maka tak usah heran jika sang artis yang tampan lagi naik daun jika turun ke desa desa selalu dikrumuni orang.

Bagi para pengusung dan team susksesnya. Itu sudah barang tentu nilai plus keutungan besar jagoanya selalu menarik perhatian banyak masyrakat. Membuat rasa percaya diri dan mempunya harapan tinggi hingga terbangun terus semangat semangatnya yang makin berkobar hebat..Hmm

Atau bisa juga efek pengaruh dukungan yang menggebu gebunya yang sampai kesetiap penjuru terutama warga warga NU. Mengatasnamakan “NU”..katanya; warga Nahdiyin/ NU harus menyambut sosok istilah segelintir simpatisannya menyebutnya . “NU kita saatnya dibedasken sampai titik darah penghabisan”..HMM.

Dengan berbagai alasan yang dianggap hal sensitiv dan rusial perlu adanya sebuah PERUBAHAN di daerah kita rebut budaya DINASTI dan dilarang keras memilih calon pimpinan GENDER perempuan. Dalam hal kompetensi politik hak hak saja team pemenangan dan antar simpatisan simpatisanya berdalih apapun terutama mencari sisi sisi lemah lawan politik dijadikan senjata atau dalih dalih paling ampuh walau sedikit “ripuh”.

Ya Oeslah..Yang penting hindari pertikaian saling benci itulah yang harus kita evaluasi dan waspadai. Bukankah kita tau bahwa dalam kompetensi politik tidak selamanya utuh, kawan bisa jadi lawan atau sebaliknya lawan bisa jadi kawan. Sekalipun secara pribadi minim terhadap pemahaman politik sebab aku bukan orang partai politik yang pandai mengotak ngatik, trik, taktik, strategik, mengkemas retoriokal diplomatik sedemikian rupa menjadi susunan naskah dramatik politik yang kadang andingnya licik dipenuhi intrik. itulah para pemain politik! Ibarat laki laki gombal memberi rayuan janji janji manis untuk mendapat mangsanya.

Kembali pada persoalan cerita santri. Seperti yang diutarakan di awal tulisan. Dan aku sebagai santri merasakan sebuah peristiwa untuk sebuah catatan pengalaman yang paling berharga. Itulah nilai nilai spritualnya. mengikuti Kiai bukan semata mata hanya kepentingan politik dan kepentingan perut peribadi apalgi untuk membesarkan partai partai polititik yang bukan ranah duniaku. Melainkan mencoba belajar mengabdi. 5 tahun lalu yang diusung bukan lagi seorang kader NU, Tapi yang kita kenal di jawa barat bahkan tingkat nasional beliau seorang sosok tokoh ulama dan mantan ketua tanfid PWN.diusung oleh salah satu partai hijau menjadi calon bupati yang berkoalisi dengan partai biru berwarna sedikit unggu …
……
Namun Allah berkehendak lain, lebih cinta pada sosok Kiaiku, beliau tak jadi bupati.Tapi, kembali lagi pada sosoknya meminpin umat dan santri di pondok pesantren yang dikelolanya sampai saat ini lebih indah dan barokah. Seandainya beliau jadi bupati tentunya lain lagi persoalanya……!

Pada akhirnya saat itu, Bandung kembali lagi dipimpin bupati H. Dadang M. Nasser,SH.,S.IP.,M.I.Pol Sampai saat ini berakhir 2021 sekitar bulan Februari mendatang. Dan sosok beliaupun saat ini yang sebentar lagi menjelang habis kepemimpinannya sebagai Bupati. Di hari-hari kesibukanya selalu meluangkan waktu, pengajian rutin dan bersilaturahmi dengan para ulama Kiai NU dan para Habaib, Terlebih Sosok Bupati ini mempunyai kedekatan emosional dengan Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Yahya Pekalongan, Ro’is ‘am Jatman (Jamiyyah Ahlith Thariqah Al Mu’tabarah An Nahdliyyah), Beliau beberapa kali bercerita bahkan berjam jam sambil menikmati kopi, mengenai perjalanan spritualnya dengan Syeh Maulana Mbah Habib Lutfhii Katanya; “Aku ingin belajar seperti santri yang bakti pada guru kiai kianya sebab banyak sekali kedamaian dan ketenangan saat dekat dengan para kiai.

Dan bulan bulan kemarin beliau beberapa kali berkunjung menemui sang Kiaiku, lawan politiknya dulu, di pilgub. Kedatangannya saat ini datang sebagai santri sekaligus sebagai suami dari istrinya untuk memohon doa dan restu dan petuah petuah terbaik dari sang Kiai, khususnya untuk istri tercintanya yang dipercaya masyarakat dan diusung beberapa partai politik Partsi Golkar, Gerindra, PPP serta Partai Gelora, PBB dan lainya. Untuk melanjutkan program program baiknya . Istrinya Hj Kurnia Agustina(Teh Nia)yang sudah di kenal masyarakat sosok yang cerdas, dan berpengalaman dalam memimpin di beberapa organisasi. Selain itu beliau selalu akrab dengan ank anak remaja milineal terutama anak anak usia dini dengan jiwa keibuan, sangat wajar jika sosoknya pun mendapat gelar Bunda Paud.

“Indung Mulang Ka Bandung sesuai dengan filossofi kab bandung indungnya bandung”

Boleh atau tidak seorang wanita menjadi seorang peminpin daerah . Kenapa tidak jika mampu dan amanah untuk mengemban tugas dari rakyatnya.
Jika berlalu adil sesuai harapan rakyat rakyatnya dan jika pula memegangan janji janji kampanyenya.

Yang tidak boleh wanita salah satunya menjadi imam sholat dan mumnya laki laki, yang tidak boleh memimpin dalam rumah tangga selama ada suami harus tunduk dan taat mengikuti perintahnya.

Dan ada larangan seorang wanita sebagai peminpin dalam tanda kutip bukan pimnpinan kepala desa, camat wali.kota atau bupati mungkin memimpin Negara secara keseluruhan yang menjadi rujukan banyak hadis dan dalil yang tidak membolehkan wanita menjadi.peminpin. Benar, akan tetapi pembahasan tentang boleh tidaknya seorang wanita berkarier dan menduduki posisi menjadi pemimpin sebenarnya bahasan klasik. Bolehkah seorang wanita menjadi pemimpin bagi kaum laki-laki dalam kedudukannya dalam skala kecil seperti direktur atau wali kota?

Mungkin secara pribadi mengutip dari beberapa artikel islam tentang beberapa larangan yang dipakai seorang wanita menjadi pemimpin salah satunya adalah surah an-Nisa ayat 34. “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi wanita oleh karena Allah telah melebihkan sebagain mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan dari harta mereka.”

Sementara dalil hadis di atas menurut Majelis Tarjih harus dipahami semangatnya tidak menurut arti harfiahnya. Dari data sejarah didapat posisi wanita belum beruntung. Nabi SAW datang guna mengangkat derajat kaum wanita yang diperlakukan tak manusiawi di zaman jahiliyah.

Beberapa abad setelah Nabi Muhammad SAW pun, pendidikan bagi kaum wanita belum banyak maju. Artinya, larangan itu. Karena saat itu, wanita dinilai belum mampu mengemban tanggung jawab kemasyarakatan. Mereka belum memiliki pengetahuan dan pengalaman. Sementara saat ini banyak wanita yang berpendidikan dan pengetahuan tentang urusan masyarakat. Karena itu, boleh saja mereka menjadi pemimpin dalam suatu lembaga kemasyarakatan. Seperti firman Allah dalam surah an-Nahl ayat 97. “Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik ….”

Dan bla bla. Wallahualam.

Ridwan Ch. Madris.MM Ketua Forum Silturahmi Seniman Kab.Bandung(Fosskab)
Pengurus Lesbumi PWNU Jawa Barat.