M Rizal Fadillah/FOTO OLAHAN JAKSAT

by M Rizal Fadillah

Hampir setiap perubahan politik yang bukan berlandaskan proses demokrasi, pemilu misalnya, selalu didahului oleh adanya martir atau mereka yang gugur dalam proses perjuangan. Adanya martir ini membangun semangat dan solidaritas perjuangan serta memperkuat tuntutan agar rezim cepat turun. Setiap penguasa waspada akan adanya martir yang dapat melengserkan dirinya. Ia harus berhadapan dengan kekuatan perlawanan yang semakin membesar dan berani.

Masa orde lama, pembunuhan “Tujuh Pahlawan Revolusi” yang kemudian dikenal peristiwa lubang buaya adalah kulminasi rezim Soekarno menuju kejatuhannya. Betapa besar kekuatan PKI dan betapa berkuasanya Soekarno. Namun G 30 S PKI dengan membunuh para jenderal menjadi sebab dan momentum perubahan. Orde Lama ambruk. Tujuh Pahlawan Revolusi adalah martir.

Perubahan politik gerakan reformasi yang menumbangkan rezim orde baru ditengarai oleh penembakan mahasiswa. Empat orang mahasiswa Universitas Trisakti tewas oleh tembakan peluru tajam. Mereka adalah Elang Mulia, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Peristiwa tanggal 12 Mei 1998 ini dikenal dengan Tragedi Trisakti. Keempat mahasiswa ini adalah martir perjuangan reformasi. Pada bulan Mei pula Soeharto mengundurkan diri dari jabatan sebagai Presiden. Orde Baru tumbang.

Di masa rezim Jokowi sejak kemenangan Pemilu yang dinilai kontroversial, telah berulang protes terjadi. Tewasnya sekurangnya 6 pengunjuk rasa pada peristiwa 21-22 Mei 2019 baik akibat tembakan maupun penganiayaan adalah warna awal kekuasaan. Selanjutnya penuh dengan kegaduhan. Aksi unjuk rasa berulang untuk kasus revisi UU KPK, RUU HIP, serta RUU Omnibus Law. Aksi revisi UU KPK menewaskan pengunjuk rasa yang tertembak. Martir.

Rezim Jokowi meskipun rapuh tetapi masih mampu bertahan. Program deradikalisasi mengarah pada kelompok Islam. Umat Islam berjarak dengan kekuasaan. Tokoh dan aktivis sering merasa terpojokkan oleh agenda kriminalisasi. Habib Rizieq Shihab adalah salah seorang tokoh Islam yang juga menjadi obyek kriminalisasi tersebut. Kepulangan ke tanah air dari “pengasingan” di Makkah, tidak mengurangi gangguan dan terus menjadi target.

Senin dini hari tanggal 7 Desember 2020 di area Tol Jakarta-Cikampek terjadi penguntitan rombongan HRS oleh orang yang kemudian diakuinya sebagai Polisi. Mobil pengawal HRS kemudian terpisah atau hilang. Terjadi penembakan 6 orang anggota FPI pengawal HRS hingga tewas. Polisi menyatakan baku tembak, FPI merilis bahwa anggotanya tak memiliki senjata, karenanya menyebut penembakan tersebut sebagai pembantaian.

Tewas atau syahidnya 6 anggota FPI yaitu Fais, Ambon, Reza, Andi, Lutfil, dan Kadhavi adalah wujud kekerasan dari arogansi kekuasaan. Bila terbukti memang anggota FPI ini tidak bersenjata, sebagaimana yang disampaikan oleh pihak FPI, maka penembakan keenam orang tersebut merupakan suatu tindak kejahatan pembunuhan. Pelaku, penyuruh, atau pihak yang membiarkan tindakan tersebut patut dikenakan sanksi. Polisi dan Pemerintah harus bertanggungjawab.

Dari keinginan adanya perubahan secara konstitusional, maka tewasnya 6 orang anggota rombongan HRS dapat menjadi martir. Simpati dan dukungan kepada HRS dan FPI serta pada semangat perubahan yang dikenal dengan “Revolusi Akhlak” akan bertambah besar. Martir selalu jadi pemicu.

Perkembangan pengusutan dari kasus penembakan anggota Polisi oleh Polda Metro Jaya akan menentukan sikap dan reaksi publik. Masalah pelanggaran HAM itu tidaklah semata menjadi perhatian bangsa dan negara saja, tetapi juga dunia internasional. Jika memang terjadi pembantaian, maka kiamat akan dialami oleh Kepolisian dan Pemerintah. Martir selalu hadir membayangi dan menghantui.

Presiden adalah muara dari semua pertanggungjawaban.

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Bandung, 8 Desember 2020