M Rizal Fadillah/FOTO OLAHAN JAKSAT

by M Rizal Fadillah

Ada secercah kegembiraan umat ketika kuasa hukum FPI Azis Yanuar membenarkan kedatangan seorang diplomat dari Kedutaan Besar Jerman di Indonesia. Kegembiraan publik ini tentu berkaitan dengan kekhawatiran kasus terbunuh atau terbantainya 6 anggota Laskar FPI oleh pihak Kepolisian ternyata tidak mendapat kejelasan dari fakta yang sebenarnya.

Meski sudah banyak pemberitaan media asing terhadap kasus kejahatan kemanusiaan ini, akan tetapi yang bersifat penyelidikan baru dilakukan oleh Komnas HAM. Usulan publik agar dibentuk Komisi Pencari Fakta independen telah ditolak oleh Presiden. Karenanya keterlibatan lembaga internasional untuk menyelidiki kasus ini menjadi sangat diharapkan.

Kedatangan diplomat Jerman ke Kantor DPP FPI di Petamburan adalah secercah harapan. Bukan bertamu biasa. Ia berjanji untuk datang kembali melanjutkan silaturahmi dan menyampaikan empati kepada FPI dan HRS atas peristiwa yang menimpanya. Memang belum ada penjelasan resmi mengenai tujuan jauh dari kedatangannya. Mungkin baru penjajagan awal.

Sebenarnya kasus kejahatan kemanusiaan “Km 50” seperti ini dapat di bawa ke institusi peradilan kriminal PBB yaitu “International Criminal Court” (ICC) di Den Haag, akan tetapi hambatan yang sering dijadikan alasan kesulitan untuk membawanya adalah bahwa Indonesia hingga kini belum meratifikasi Statuta Roma. Artinya belum menjadi anggota ICC.

Kedatangan diplomat Jerman cukup menarik karena Jerman sendiri adalah negara pendukung ICC terkuat. Meski Indonesia bukan anggota ICC tetapi diskresi atau otoritas ICC dapat mengambil keputusan. Hal ini pernah terjadi ketika ICC memutuskan untuk menyelidiki kejahatan perang Israel atas Palestina, padahal Israel sendiri belum meratifikasi Sratuta Roma. Jerman juga berkonflik dengan AS soal kepatuhan pada ICC. Amerika pun belum meratifikasi Statuta Roma.

Dari aspek kewenangan atau yurisdiksi ICC maka kasus “Km 50” itu telah memenuhi syarat untuk masuk dalam yurisdiksinya, karena :

Pertama, subyek hukum yang diadili adalah individu (natural person) yang kemudian dikenal dengan personal jurisdiction (rationae personae) termasuk target pejabat pemerintah maupun pemimpin militer dan sipil.

Kedua, jenis kejahatan yang menjadi ruang lingkupnya (material jurisdiction) yaitu termasuk kejahatan kemanusiaan (crime against humanity) dan menurut Statuta Roma diantara kejahatan kemanusiaan itu adalah pembunuhan dan penyiksaan (torture).

Komnas HAM memang kini sedang menyelidiki, akan tetapi jika Komnas HAM gagal karena “bermain-main” maka bisa saja ICC menilai telah terjadi dalam Pemerintahan Jokowi “tidak ada keinginan” untuk menuntaskan (unwilling) atau “tidak mampu” menuntaskan penyelidikan (unable) maka bukan mustahil ICC akan mencoba untuk turut melibatkan diri.

Gelindingan penyelidikan kasus penembakan atau pembantaian 6 anggota Laskar FPI akan semakin kencang. Upaya menutupi akan semakin sulit. Terlalu banyak mata yang mengawasi. Jika kebohongan Pemerintah melalui kerja aparatnya terkuak, maka diprediksi berefek fatal. Bukan mustahil muncul tuntutan yang lebih keras.

Meskipun kini Jerman tak bisa lagi berprinsip “Deutschland uber alles” namun dukungan kuatnya kepada ICC patut untuk diperhitungkan. Jerman mampu melakukan lobi-lobi internasional termasuk untuk menekan Pemerintah Indonesia. Kejahatan kemanusiaan (crime against humanity) adalah perhatian utama.

Kedatangan diplomat Jerman ke Kantor FPI Petamburan merupakan gejala yang harus dibaca.

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Bandung, 20 Desember 2020