M Rizal Fadillah/FOTO OLAHAN JAKSAT

by M RIzal Fadillah

Dalam hitungan hari Menag Yaqut Qoumas sudah menendang dua bola bunder eh blunder. Awal soal afirmasi Ahmadiyah dan Syi’ah yang menuai kecaman karena memancing kemarahan umat Islam yang telah lama menilai sesatnya Ahmadiyah dan Syi’ah. Klarifikasi Menag malah mensejajarkan kedudukan hukum Syi’ah dan Ahmadiyah dengan NU dan Muhammadiyah. Penyetaraan yang ngawur dan tak pantas.

Kemudiannya di Webinar Lintas Agama 27 Desember 2020 Menag kontroversial ini menyatakan akan memerangi populisme Islam. Waduh Islam lagi yang menjadi sasaran. Menteri apa dan siapa sih dikau ini. Populisme Islam itu banyak makna tapi Menag membuat definisi subyektif sendiri bahwa populisme Islam adalah penggiringan agama ke arah konflik. Dicari dalam kamus, tidak ditemukan populisme Islam seperti definisi Pak Menteri. Bagi pak Yaqut populisme Islam itu sama dengan radikalisme

Populisme Islam akan diperangi. Ini Menteri Agama atau Menhan atau Panglima TNI ?Bawa pasukan apa Yaqut hendak memerangi populisme Islam ?. Menteri Agama jika ingin menempatkan diri sebagai Menteri semua agama ya harus juga bisa menempatkan sebagai Menteri semua golongan atau kelompok umat Islam yang sah. Jangan menjadi duri pembuat konflik di kalangan internal umat Islam sendiri.

Populisme adalah upaya elit politik agar lebih merakyat. Populisme Islam menghendaki ajaran Islam dapat diterima oleh rakyat. Artinya bagus karena memang itulah misi da’wah yakni agar Islam dapat diterima dan dijalankan oleh kalangan rakyat. Menteri Agama sebagai muslim juga mengemban misi ini, misi populisme Islam. Islam bukan agama elit tetapi agama rakyat.

Vedi R Hadiz penulis buku Populisme Islam menyatakan bahwa mengartikan populisme Islam itu sama dengan intoleransi adalah keliru. Populisme Islam dapat bersifat konservatif maupun progresif. Apalagi menurutnya di Indonesia berbeda dengan di Turki tentang karakter populisme. Di Indonesia tidak memiliki visi dan misi yang jelas.

Sayang, diksi Menteri Yaqut ini radikal dan memancing konflik. Memerangi radikalisme dengan diksi radikal. Artinya sama saja dengan maling teriak maling. Semakin tidak menyejukkan narasi kebijakan Menteri semakin menjengkelkan umat. Baru beberapa hari saja menjabat sudah membuat prestasi berupa banyak reaksi.

Sebaiknya cepat pak Menteri ini mendekat dan minta nasehat kepada para ulama, sesepuh, kyai tentang bagaimana semestinya memimpin Kementrian yang mengurus harmoni antar umat beragama maupun internal umat itu sendiri. Hindari diksi atau narasi yang kontroversi dan menciptakan konflik. Jauhi ekstrimisme.

Jangan menjadi Menteri yang radikal, intoleran, sok kuasa, serta merasa sebagai pemilik dari kebenaran. Sebab hal-hal itulah yang sering menyebabkan blunder. Dua kali pak Yaqut membuat pernyataan yang menyedihkan. Waspada dan lebih hati-hati dalam berkata dan bersikap. Rakyat banyak yang tidak begitu percaya.

Buktikan bahwa keraguan atau ketidakpercayaan rakyat itu keliru. Stop membuat blunder ketiga atau keempat sebab bila terus menerus melakukan blunder, maka nanti bukan lagi menjadi Menteri Agama RI tetapi Menteri Blunder Republik Indonesia.

*) Pemerhati Politik dan Keagamaan

Bandung, 30 Desember 2020