Gan-Gan R.A /IST

Oleh : Gan-Gan R.A*

Korban kasus penipuan dan penggelapan akibat aksi tipu daya muslihat pengembang nakal yang mengklaim mempunyai tanah untuk dijadikan lokasi pembangunan dan mengaku memiliki fasilitas pembiayaan dari lembaga perbankan dari waktu ke waktu terus berjatuhan. Ironisnya, sekalipun banyak masyarakat yang menjadi korban tetapi aksi pengembang nakal seakan masih bisa bergerak leluasa mencari target korban berikutnya dan mengeruk keuntungan dengan cara menipu konsumen.

*

Ini menjadi sebuah paradoks dalam potret buram penegakan hukum dunia properti kita yang secara tidak langsung menyediakan ruang eksplorasi bagi aksi kejahatan pengembang sebagai sebuah kejahatan korporasi yang dengan leluasa melancarkan penipuan kepada konsumen serta pelakunya seringkali lepas dari jeratan pidana.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun serta Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI Nomor: 11/PRT/M/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli, pengembang harus terlebih dahulu melaksanakan ketentuan dan persyaratan sebelum memasarkan unit apartemen kepada konsumen.

Tiga persyaratan subtantif yang harus dipenuhi pengembang, berdasarkan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun sebelum memasarkan unit apartemennya, pengembang harus mengantungi persyaratan administasi, persyaratan teknis dan persyaratan ekologis.
Persyaratan administratif, perizinan yang diperlukan sebagai syarat untuk melakukan pembangunan rumah susun, diantaranya Status Hak Tanah dan Izin Mendirikan Bangnan (IMB).

Persyaratan teknis, persyaratan yang berkaitan dengan struktur bangunan, keamanan dan keselamatan bangunan, kesehatan lingkungan, kenyamanan dan lain-lain yang berhubungan dengan rancang bangun, termasuk kelengkapan prasarana dan fasilitas lingkungan (dijabarkan dalam Pasal 35 UU No. 2 Tahun 2011 tentang Rumah Susun).
Persyaratan ekologis, persyaratan yang memenuhi analisiss dampak lingkungan dalam hal pembangunan rumah susun (dijabarkan dalam Pasal 37 dan Pasal 38 UU No. 2 Tahun 2011 tentang Rumah Susun).

KORBAN PENGEMBANG NAKAL
Peristiwa hukum ini terjadi pada tahun 2017, diawali dengan Perjanjian Kerjasama antara Koperasi Awak Pesawat Garuda Indonesia (Koapgi) dengan PT. Satiri Jaya Utama untuk memasarkan unit Apartemen Sky High Tower yang berlokasi di Jalan KH. Ahmad Dahlan, Petir, Cipondoh Kota Tangerang. Herman Sumiati, selaku Direktur Utama PT. Satiri Jaya Utama mengklaim memiliki tanah untuk dijadikan lokasi pembangunan tower apartemen dan mengaku memiliki fasilitas Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) dari PT. Bank Rakyat Indonesia (Perseroan) Tbk.

Untuk memasarkan unit apartemen, PT. Satiri Jaya Utama ingin menggandeng Koapgi yang dipimpin Rimond Barkah Sukandi agar bisa berkolaborasi untuk memasarkan unit Apartmen Sky High kepada crew awak pesawat Garuda Indonesia. Koapgi yang memiliki ribuan anggota yang terdiri dari awak pesawat Garuda Indonesia adalah target pasar yang menguntungkan.

Dengan bermodalkan Akta Perjanjian Kerjasama antara BRI dengan PT. Satiri Jaya Utama tentang Pemberian Fasilitas Kredit Pemilikan Apartemen Nomor 36 tanggal 12 Juni 2017 (Penggunaan Akta Otentik yang dibuat Berdasarkan Keterangan Palsu (Pasal 266 ayat (2) KUHP), yang dibuat dihadapan Notaris Dr. Tintin Surtini, SH, MH, M. Kn, Herman Sumiati memastikan kepada Koapgi bahwa PT. Satiri Jaya Utama memiliki jaminan dari lembaga perbankan atas pembangunan Apartemen Sky High di atas tanah yang sudah menjadi miliknya (Memberikan Keterangan Palsu dalam Akta Otentik (Pasal 266 ayat (1) KUHP).

Dasar terbitnya akta tentang pemberian fasilitas KPA dari BRI kepada PT. Satiri Jaya Utama adalah Surat Kantor Jasa Penilaian Publik (KJPP) Abdullah Fitriantoro & Rekan (Penggunaan Surat Palsu (Pasal 263 ayat (2) KUHP), Nomor Laporan: 0597/LAP/0.0-KJPP/IX/17 dan Nomor Proyek: 00.486/PRO/0.0-KJPP/IV/17, Perihal: Laporan Penilaian Aset atas nama Sdr. Herman Sumiati, di mana pada tanggal 17 Mei 2017 s/d 19 Mei 2017 KJPP Abdullah Fitriantoro & Rekan dalam isi laporannya menerangkan telah melakukan inspeksi, analisis dan penilaian serta menyusun laporan penilaian aset Sdr.

Herman Sumiati tentang nilai likuidasi atas tanah di Jalan KH. Ahmad Dahlan, Kelurahan Petir, Kecamatan Cipondoh, Kota Tengerang, Banten yang dinyatakan sebagai aset yang dikuasai oleh Sdr. Herman Sumiati (Pemalsuan Surat (Pasal 263 ayat (1) KUHP).
Kelak di kemudian hari, topeng Herman Sumiati terbongkar, berdasarkan fakta pemilik sah atas tanah tersebut adalah H. Agam Nugraha Subagja dan PT. Satiri Jaya Utama baru melakukan down payment atas tanah tersebut pada tanggal 22 September 2017 dengan bukti Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat dihadapan Notaris Susilawaty, SH. Namun dikarenakan Herman Sumiati diduga tidak melaksanakan kewajibannya sebagai pembeli untuk melunasi transaksi tanah tersebut, maka pada tanggal 07 November 2018 terbit Pembatalan PPJB Nomor: 02.

Dari fakta yang tak terbantahkan di atas, terbitnya akta otentik tentang fasilitas pemberian KPA dari BRI tertanggal 12 Juni 2017 di mana dalam akta otentik tersebut Herman Sumiati mengklaim memiliki tanah untuk dijadilkan lokasi pembangunan Apartemen. Sementara faktanya, Herman Sumiati baru melakukan down payment dengan pemilik tanah pada tanggal 22 September 2017 dengan alat bukti terbitnya PPJB.

Atas dasar visi, maksud dan tujuan baik untuk menekan anggaran operasional crew pesawat Garuda Indonesia, Ketua Koapgi pada tanggal 17 November 2017 akhirnya mengikatkan diri sebagai Tim Marketing dalam Perjanjian Kerjasama dengan PT. Satiri Jaya Utama untuk memasarkan unit Apartemen Sky High, apabila PT. Satiri Jaya Utama sudah memulai melakukan pembangunan tower.

Pembangunan Apartemen Sky High sebagaimana yang dijanjikan oleh PT. Satiri Jaya Utama ketika jatuh tempo berakhir ternyata tidak juga direalisasikan. Rimond Barkah Sukandi dengan tegas mendesak Herman Sumiati untuk segera melaksanakan kewajibannya selaku pengembang. Dengan berbagai dalih, Herman Sumiati membela diri dan berlindung di balik proses birokrasi perijinan yang sedang dilakukan oleh PT. Satiri Jaya Utama.

Herman Sumiati berdalih bahwa BRI batal mengucurkan faslitias KPA kepada PT. Satiri Jaya Utama. Nasi sudah menjadi bubur, demi menjaga kredibilitas Koapgi dan kepercayaan crew pesawat Garuda Indonesia yang sebagian besar menjadi anggota Koapgi, dan Koapgi sudah terlanjur bergerak memasarkan unit Apartemen Sky High, maka atas dasar inisiatif PT. Satiri Jaya Utama (tanpa melibatkan Koapgi), pada tanggal 03 November 2017 terbitlah Surat Penegasan dan Persetujuan Pemesan Unit (Surat P3U) yang dibuat dihadapan Notaris Charles Hermawan, SH.

Sementara dalam Pasal 43 UU No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun tidak dikenal istilah Surat P3U, melainkan PPJB. Oleh karena itu Surat P3U bukanlah landasan yuridis untuk melakukan transaksi jual beli properti dan harus dinyatakan batal demi hukum dikarenakan cacat administrasi, serta pihak Notaris yang membuat SP3 U dapat dijerat Pasal 55 KUHP atas dugaan menjadi pihak yang turut serta membantu perbuatan tindak pidana.

Inilah episentrum peristiwa hukum Koapgi dan pemesan unit Apartemen Sky High yang memperkuat indikator terjadinya perbuatan dugaan tindak pidana penipuan dan penggelapan yang diduga dilakukan Herman Sumiati melalui bendera developer PT. Satiri Jaya Utama.

Herman Sumiati diduga kuat telah melakukan aksi tipu daya muslihat yang secara sistematis dan masif melalui terbitnya Akta Perjanjian Kerjasama antara BRI dengan PT. Satiri Jaya Utama tentang Pemberian Fasilitas Kredit Pemilikan Apartemen untuk mengeruk keuntungan dan memperkaya diri sendiri dengan cara melanggar hukum. Patut diduga oknum Direksi BRI dan Notaris (Pasal 55 KUHP) yang memproses akta otentik tersebut terlibat dalam persekongkolan dengan Herman Sumiati.

Total uang transaksi 82 unit Apartemen Sky High yang sudah disetorkan secara tunai keras oleh Koapgi dan pemesan unit ke rekening PT. Satiri Jaya Utama dari September 2017 s/d Juni 2018 sekitar Rp 24 milyar (Pasal 3 UU TPPU Nomor 8 Tahun 2010). Dan sejak ditandatanganinya perjanjian kerjasama antara Koapgi dengan PT. Satiri Jaya utama pada 17 November 2017 hingga memasuki awal Januari 2021 Apartemen Sky High Tower tersebut tidak pernah berwujud (Penggelapan (Pasal 372 KUHP).

DUDUK PERKARA dan LEGAL STANDING
Kesepakatan Perjanjian Kerjasama yang ditandatangani pada tanggal 17 November 2017 antara PT. Satiri Jaya Utama dengan Koperasi Awak Pesawat Garuda Indonesia dalam perspektif hukum pidana merupakan representasi unsur Mens Rea (niat jahat). Herman Sumiati selaku Dirut PT. Satiri Jaya Utama yang sejak dari awal diduga kuat membuat Grand Design untuk melancarkan aksi tipu daya muslihat kepada Koapgi melalui perencanaan jahat yang matang atas proyek fiktif pembangunan Apartemen Sky High Tower.

Surat Perjanjian Kerjasama tersebut cacat administrasi dan tidak memenuhi ketentuan syarat sahnya kesepakatan perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, karena adanya unsur suatu sebab yang tidak terlarang.

PT. Satiri Jaya Utama sejak awal tidak memiliki kepastian status kepemilikan hak atas tanah, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), perizinan dari Bupati/Walikota terkait rencana fungsi dan pemanfaatan rencana pembangunan apartemen, jaminan pembiayaan dari lembaga perbankan dan ketersediaan konstruksi 20% dari pembangunan apartemen (Penipuan (Pasal 378 KUHP).

Dalam UU No 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun ditegaskan berbagai persyaratan substansial perihal kewajiban pengembang yang harus terlebih dahulu ditunaikan sebelum pengembang memasarkan unit apartemen. PT. Satiri Jaya Utama sejak awal tidak memenuhi ketentuan dan persyaratan tersebut.

Lantas, landasan yuridis apa yang menjadi asas hukum PT. Satiri Jaya Utama berhak untuk memasarkan unit Apartemen Sky High? Inilah pokok perkara dari permasalahan hukum antara Koapgi dan PT. Satiri Jaya Utama yang membuat Rimond Barkah Sukandi, Ketua Kopagi akhirnya menempuh proses jalur hukum.

Tanggal 20 Agustus 2019 Ketua Koapgi melaporkan Dirut PT. Satiri Jaya Utama, Herman Sumiati ke Ditreskrimum Polda Mtero Jaya dengan Laporan Polisi Nomor: LP/5141/VIII/2019/PMJ/Ditreskrimum atas dugaan penipuan dan atau penggelapan serta pemalsuan surat dan pihak yang turut serta dalam membantu perbuatan dugaan tindak pidana. Kemudian pada tanggal 6 Mei 2020 berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/2012/V/2020/Ditreskrimum penyidik menetapkan status Herman Sumiati sebagai Tersangka.

Selang 30 hari pasca ditetapkannya Herman Sumiati sebagai Tersangka, pada tanggal 20 Juli 2020 terbit Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) berdasarkan Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan Nomor: S.Tap/2028/VII/2020/Ditreskrimum yang menyatakan perkara tersebut bukan merupakan tindak pidana.

Atas terbitnya SP3 tersebut, Kuasa Hukum Koapgi yang ditunjuk Ketua Koapgi sebagai kuasa hukumnya dan juga Kuasa Hukum dari 29 pemesan unit setelah terbitnya SP3 telah menemukan alat bukti baru (novum) agar SP3 dapat dibuka dan menetapkan kembali Herman Sumiati sebagai Tersangka.

Untuk memahami pokok perkara sebuah kasus, apakah kasus tersebut dapat dikategorikan wanprestasi (perdata) ataukah tindak pidana, terdapat dua indikator kumulatif untuk membedakan apakah perbuatan yang dilakukan dalam konteks Perjanjian merupakan wanprestasi (perdata) atau penipuan (pidana).

Karakteristik wanprestasi dan penipuan berakar pada hubungan hukum yang terjadi diantara para pihak selalu “didahului” atau “diawali” dengan hubungan kontraktual. Letak batasan antara wanprestasi dan penipuan dalam kontreks Perjanjian pada “tempus delict”-nya atau waktu Perjanjian disepakati oleh kedua belah pihak.
Bila setelah (post facum) Perjanjian disepakati diketahui ada tipu muslihat, rangkaian kata bohong atau keadaan palsu dari salah satu pihak, maka perbuatan tersebut adalah wanprestasi. Jika sebelum (ante factum) Perjanjian disepakati ada tipu daya muslihat, rangkaian kata bohong atau keadaan palsu dari salah satu pihak, keadaan atau tipu muslihat itu telah disembunyikan oleh salah satu pihak, maka perbuatan tersebut merupakan penipuan.

Kasus dugaan tindak pidana penipuan dan penggelapan yang menimpa Koapgi dan Pemesan Unit Apartemen Sky High diperkuat berdasarkan yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor:1601.K/Pid/1990 tanggal 26 Juli 1990 tentang penipuan dan yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 74 K/KR/1973 tanggal 10 Desember 1973 tentang penggelapan.

Dibalik terbitnya SP3 menyeruak sejumlah kejanggalan yang memburamkan alat bukti dan fakta hukum tentang terpenuhinya unsur perbuatan tindak pidana. Herman Sumiati diduga kuat berdasarkan alat bukti dan fakta hukum telah melakukan dugaan tindak pidana: Memberikan Keterangan Palsu dalam Akta Otentik (Pasal 266 ayat (1) KUHP), dan atau Penggunaan Akta Otentik yang dibuat Berdasarkan Keterangan Palsu (Pasal 266 ayat (2) KUHP), dan atau Pemalsuan Surat (Pasal 263 ayat (1) KUHP), dan atau Penggunaan Surat Palsu (Pasal 263 ayat (2) KUHP), dan atau Penipuan (Pasal 378 KUHP) dan atau Penggelapan (Pasal 372 KUHP) Juncto Tindak Pidana Pencucian Uang (Pasal 3 UU TPPU Nomor 8 Tahun 2010).

Koperasi adalah representasi soko guru ekonomi bangsa Indonesia yang berbasis daulat ekonomi kerakyatan, sebagai soko guru ekonomi bangsa, koperasi tidak boleh dikalahkan oleh praktek-praktek kotor pengembang nakal yang bersekutu dengan oknum direksi lembaga perbankan dan mafia hukum.

*Kuasa Hukum Koperasi Awak Pesawat Garuda Indonesia dan 29 Pemesan Unit Apartemen Sky High Tower dari Kantor Hukum Gufroni & Partners.