Tuna wisma dan gelandangan adalah bagian dari pemandangan khas kota-kota besar. Benarkah ini sebuah kenyataan di Jakarta?/FOTO MEDSOS WAG

OLEH Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Mamik dan Khusnul adalah dua dari sekian warga tuna wisma di Surabaya. Puluhan tahun tinggal di kolong jembatan. Mereka tak tersentuh oleh program kesejahteraan kota Surabaya.

Apakah Ibu Risma gak pernah datang kesini? Tanya seorang wartawan Republika kepada Mamik. Tidak pernah, jawabnya. spontan! Tanpa ragu.

Jawaban yang sama juga keluar dari mulut Khusnul, penghuni Kolong Jalan Tol Waru-Tanjung Perak: “Gak onok mas. Kok ngarepno bantuan. Lak gak nggolek rosokan ya gak mangan (Gak ada mas. Kok mengharapkan bantuan. Kalau nggak cari rongsokan ya nggak makan).

Di Surabaya, kota dimana Risma pernah menjadi Walikota dua periode, ada 2.740 tuna wisma (2017).

Publik jadi ramai ketika Risma blusukan dan memburu tuna wisma di Jakarta. Kali ini bukan sebagai Walikota, tapi sebagai Mensos. Tuna wisma di Surabaya aja keleleran, kok mau ngurusin yang di Jakarta. Begitu kira-kira pertanyaan publik.

Sehari setelah dilantik, Risma langsung bekerja. Tak sabar. Pekerjaan pertama adalah mendatangi tuna wisma di sejumlah wilayah di Jakarta. Jitu, pas, dan langsung jumpa. Risma menemukan sejumlah tuna wisma itu. Entah tuna wisma dari mana. Isunya ada yang diimpor dari daerah tetangga. Kalau isu ini benar, siapa yang mengimpor?

Uniknya, seolah mensos yang baru dilantik ini tahu seluk beluk kota Jakarta. Atau memang ada tim khusus yang menjadi EO-nya. Selama ini, belum pernah ada mensos menggunakan “jurus blusukan”. Tapi, Risma memang kreatif!

Seandainya Risma tanya dulu ke dinas sosial Pemprov DKI, tentu akan dapat data yang lebih akurat. Sehingga tidak ketemu tuna wisma di Sudirman-Tamrin yang oleh publik dianggap aneh. “sejak umur 4 tahun tinggal di Jakarta, baru dengar tuna wisma di Sudirman-Thamrin”, kata Ariza, Wagub DKI.

Sayangnya, Risma sepertinya gak sabar. Main turun ke lapangan tanpa berkoordinasi dengan pemilik wilayah. Publik bertanya-tanya: apakah ini memang disengaja untuk menyaingi Gubernur Jakarta?

Risma seorang politisi. Jika langkahnya dianggap politis, itu wajar saja. Di depan mata ada pilgub DKI 2022/2024, juga pilpres 2024. Hanya saja, perlu cara-cara yang lebih elegan. Bukan hanya virus yang mutasi, pencitraan juga harus mengalami mutasi. Mesti disesuaikan dengan zaman dan adab setempat.

Blusukan dianggap sudah kuno. Publik sepertinya sudah muak dengan segala bungkus. Ada kerinduan rakyat terhadap program yang lebih substantif, jujur dan terukur. Terobosan out of the box. Loncat dari program-program yang lama dan usang. Karenanya, blusukan Risma mendapatkan banyak kritik dan bullyan. Artinya, respon publik negatif.

Apapun langkah politis Risma, itu sah dan halal. Hanya saja, tugas sebagai mensos tidak boleh dinomorduakan. Ada semakin banyak jumlah rakyat miskin di Indonesia. Ada kesenjangan yang luar biasa lebar. Bahkan di daerah seperti Papua, Papua Barat dan NTT, masih ada ancaman busung lapar. Daerah-daerah ini mesti mendapatkan perhatian yang lebih diprioritaskan oleh mensos. Bukan tuna wisma di Jakarta yang sesungguhnya sudah disiapin rusun oleh Pemprov DKI. Hanya ada sejumlah orang yang belum mau pindah, dan dalam proses pendekatan yang terus intens dilakukan.

Tuna wisma dan gelandangan adalah bagian dari pemandangan khas kota-kota besar. Mereka umumnya adalah pendatang yang mengadu keberuntungan di kota-kota metropolitan. Biarlah ini menjadi tugas para kepala daerah masing-masing untuk mengatasi. Jika mensos ingin bantu, akan efektif jika bersinergi dengan kepala-kepala daerah tersebut. Membangun program yang terkordinasi, bahkan terkolaborasi. Bukan malah berkompetisi!

Jakarta, 6 Januari 2021