by M Rizal Fadillah

Telah dirilis hasil penyelidikan Tim Komnas HAM dalam kasus pembunuhan 6 anggota Laskar FPI di Jalan Tol Jakarta Cikampek yang dikenal dengan peristiwa Km 50. Nampaknya rilis tanggal 8 Januari 2021 ini final karena ada butir narasi akan dilaporkan kepada Presiden dan Menkopolhukam.

Adapun Rekomendasi dari penyelidikan ada empat butir, yaitu :

Pertama, tewas nya 4 anggota Laskar FPI merupakan kategori pelanggaran HAM yang direkomendasi proses penegakan hukum melalui mekanisme pengadilan pidana.

Kedua, mendalami dan penegakan hukum orang yang berada dalam 2 mobil petugas.

Ketiga, mengusut kepemilikan senjata api Laskar FPI.

Keempat, proses penegakan hukum, akuntabel, obyektif, dan transparan sesuai standar HAM.

Meski meragukan dan belum jelas dalam kaitan kepemilikan senjata api Laskar FPI yang menyebabkan kematian 2 anggota Laskar FPI tersebut serta tidak terungkap soal tanda-tanda penyiksaan yang disimpulkan tidak terjadi penyiksaan oleh Tim Komnas HAM, namun catatan penting yang didapat dari rilis ini adalah keyakinan terjadinya perbuatan yang dikategorikan pelanggaran HAM.  Karenanya harus berlanjut pada proses peradilan.

4 (empat) orang yang tewas ditembak pada tahap kedua yang dikategorikan pelanggaran HAM oleh Komnas HAM dapat menjadi  pintu masuk untuk menguak kebenaran lebih lanjut dari kasus yang menghebohkan ini.  Apakah keterlibatan pihak yang bukan aparat Kepolisian, dasar hukum pembuntutan intensif dan masif HRS yang bukan tersangka atau berstatus buron, keterlibatan atasan aparat pelaku pembuntutan dan penembakan, serta kemungkinan kebijakan untuk target “pembunuhan politik”.

Dua hal yang disayangkan tidak terungkap secara transparan adalah pertama, soal eksplanasi tanda-tanda penyiksaan yang menyertai pembunuhan dan kedua, siapa atau berapa orang pelaku penembakan. Hal ini pentingmengingat kategori perbuatan adalah pelanggaran HAM. Komnas HAM semestinya menemukan identitas pelaku personal perbuatan kriminal tersebut.

Hasil Komnas HAM sebenarnya inkonsisten karena setelah meyakini bahwa telah terjadi pelanggaran HAM tetapi tidak merekomendasi ke arah penegakan hukum melalui pengadilan HAM. Ini bukan semata pembunuhan tetapi pelanggaran HAM bahkan pelanggaran HAM berat.  Dasarnya adalah UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Hal ini agar kasus  serupa tidak terulang dan menjadi pelajaran berharga bagi para pelanggar HAM.

Konsekuensi lain jika tidak melalui Pengadilan HAM, maka masyarakat masih dapat mendorong dan mengajukan agar proses peradilan dilakukan melalui Internasional Criminal Court di Den Haag

dengan alasan Pemerintah Indonesia tidak sungguh-sungguh mengadili pelaku kejahatan HAM. Pembunuhan dan penyiksaan dengan kategori pelanggaran HAM masuk dalam kompetensi ICC.

Bahwa Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma tidak menjadi alasan kemungkinan diproses oleh Internasional Criminal Court. Kasus Myanmar, Amerika, dan Israel adalah contoh negara yang tidak meratifikasi tetapi menjadi obyek peradilan ICC. Apalagi legal standing untuk proses ICC bukankah negara tetapi individu.

Sebentar lagi bola berada di tangan Presiden yang diuji komitmen dan keseriusannya sebagai Kepala Negara dalam penegakan hukum atas pelanggaran HAM yang terjadi. Jika tidak serius dan bermain-main dalam kasus ini, maka Presiden dapat dikategorikan sebagai bagian dan terlibat  dalam pelanggaran HAM tersebut.

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

9 Januari 2021