M Rizal Fadillah/FOTO OLAHAN JAKSAT

by M. Rizal Fadillah

Menteri Agama terus menyerang umat Islam dengan strategi perang frontal dan gerilya. Senjata penghancurnya adalah isu radikalisme. Bagai menginginkan umat Islam menjadi umat yang lemah, hilang gairah, runtuh kekebalan, dan terjajah. Sirna wibawa, menghamba, dan lebih suka berjoged daripada berjuang dan berda’wah. Menjadi umat “odong-odong”.

Beberapa hari lalu Menag Yaqut mendatangi Wapres meminta dilibatkan dalam menyusun konten seleksi ASN dalam rangka mencegah radikalisme. Di era Jokowi khususnya periode kedua, fokus kementrian agama hanya pada masalah radikalisme dan intoleransi semata. Asumsinya bahwa umat beragama, khususnya umat Islam adalah kaum intoleran, radikalis, dan bahkan teroris. Agama ditempatkan menjadi musuh bagi kehidupan harmoni bahkan lawan ideologi.

Terorisme mungkin lebih memiliki batasan yang jelas, walaupun rekayasa dan kepentigan global memainkan peran dominan, sedangkan radikalisme itu tidak jelas. Memiliki pengertian yang bias, dan dapat disalahmaknakan. KBBI pun hanya memberi batasan radikalisme untuk aliran politik bukan keagamaan.

Yaqut yang menempatkan diri sebagai panglima toleransi dan deradikalisasi terkesan ingin membawa budaya kelompoknya menjadi kultur keberagamaan umat Islam. Keragaman yang diubah menjadi keseragaman. Beragama secara monolit seperti ini bukan integrasi tetapi aneksasi. Penaklukan.

Moderasi atau toleransi tidak boleh menyebabkan seorang muslim menjadi kehilangan identitas kemusliman atau menjadi sinkretis. Bukan yang mesti shalawat atau azan di gereja, cium tangan pastur, atau pidato dengan mengakui Yesus sebagai anak Tuhan. Bukan pula dengan meyakini semua agama benar sehingga agama apapun dapat mengantarkan ke Surga.

Gerakan anti radikalisme menjadi fenomena dan strategi melumpuhkan umat Islam. Sejarah politik bangsa menunjukkan terjadinya persaingan politik antara kelompok politik keagamaan dan kelompok kebangsaan sekuler. Memadukan kedua kekuatan potensial bangsa tersebut telah dilakukan melalui konsensus dalam rumusan ideologi Pancasila.

Ketika kelompok kebangsaan sekuler “menang” dalam kompetisi demokrasi, maka ada kesan misi “menghajar” kekuatan politik Islam. Meski ada partai politik berbasis Islam tetapi sebagian besarnya lumpuh dan ikut irama permainan politik pragmatik. Pelemahan partai politik terus bergeser ke aras kehidupan sosial kemasyarakan. Ormas, LSM, atau pergerakan Islam menjadi target pelumpuhan. Isu strategis yang dinilai efektif adalah radikalisme.

Menteri Agama Farurozi yang berlatar belakang militer terkesan diamanati Jokowi untuk mengemban misi mengangkat isu radikalisme. Begitu juga dengan Menteri Agama penggantinya Yaqut Qoumas. Jika Kementrian Agama menjadi kementrian yang berisik dengan isu dan pandangan negatif terhadap aspek keagamaan umat Islam, maka kementrian ini telah menjauh dari misi awal sejarah pembentukannya.

Kita harus malu dengan ucapan aktivis HAM Natalius Pigai yang non muslim : “sampai kapan umat yang mayoritas, terutama muslim, akan tenang. Tidak ada Islam intoleran, tidak ada Islam teroris, tidak ada Islam radikal. Yang ada adalah cara pandang pemimpin yang radikal dan teroris !”.

*) Pemerhati Politik dan Keagamaan

 10 Januari 2021