by M Rizal Fadillah
Bekerja sia-sia bahkan tidak profesional adalah pilihan diksi yang mungkin pas diberikan bagi Komnas HAM yang diberi amanah untuk menyelidiki kasus pembantaian 6 anggota Laskar FPI 7 Desember 2021. Harapan publik begitu besar atas kerja keras, transparan, obyektif, dan independen. Namun harapan itu sirna melalui realita kerja Komnas HAM.
Menurut UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi HAM. Pasal 89 ayat (3) butir c dalam hal pemantauan maka Komnas HAM melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang patut diduga terdapat pelanggaran HAM.
Ada kesalahan mendasar Komnas HAM dalam penyelidikan kasus penembakan 6 anggota laskar FPI, yaitu :
Pertama, dari peristiwa yang secara dini dipantau publik diduga penembakan bahkan pembantaian yang terjadi adalah “extra ordinary” dengan tuntutan keras akan pembentukan TPF independen, maka sesuai UU No 26 tahun 2000, seharusnya Komnas HAM membentuk tim ad hok yang terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat (vide Pasal 89 ayat 2).
Kedua, bahwa hasil penyelidikan dengan kesimpulan terjadinya pelanggaran HAM Komnas HAM seharusnya mengumumkan kepada publik siapa yang diduga pelanggar HAM tersebut. Mengetahui penembak atau pembantai adalah hal termudah dan layak didapat oleh Komnas HAM dalam kasus ini.
Ketiga, Komnas HAM tidak mampu menjelaskan indikasi penyiksaan (torture) bahkan terkesan menghindar, hal ini merupakan pelanggaran atas tanggungjawab moral kemanusiaan yang mendasar. Foto kondisi jenazah yang beredar ternyata tidak terklarifikasi baik dalam penyelidikan.
Keempat, Komnas HAM keliru hanya melaporkan hasil kerja kepada Presiden, sebab pada pelaporan reguler saja dilakukan kepada DPR dan Presiden dengan tembusan Mahkamah Agung (Pasal 97 UU HAM), apalagi pelaporan khusus. Komnas HAM itu bekerja bukan atas perintah dan bertanggungjawab kepada Presiden.
Mengingat kegagalan kerja Komnas HAM dalam kasus penyelidikannya, apalagi mengganggu asas dasar kemandiriannya, maka layak jika Komnas HAM dengan angggota yang kini menjabat patut untuk mendapat sanksi. Pemberhentian adalah konsekuensi. Pimpinan dan tim penyelidik kasus penembakan atau pembantaian bertanggungjawab atas kegagalan.
Pemberhentian dari keanggotaan Komnas HAM ini sesuai dengan ketentuan Pasal 85 UU HAM yang membuka pintu pemberhentian atas dasar “mencemarkan martabat dan reputasi dan atau mengurangi kemandirian dan kredibilitas dalam Komnas HAM”.
Kesalahan sebagaimana dimaksud Pasal 85 bila dilakukan secara kolektif dan sistematis maka Komnas HAM yang semestinya menjadi pelindung dan pembela HAM justru menjadi bagian dari pengaburan dan pelanggaran HAM itu sendiri.
Jika hasil kerja Komnas HAM memang dinilai sudah tidak efektif, mandul, dan tidak berwibawa dalam langkah hukum lanjutannya, maka sebaiknya Komnas HAM dibubarkan saja.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 22 Januari 2021