OLEH Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Jakarta memang beda. Ini ibu kota. Semua jadi berita. Dalam pengertian positif, maupun negatif.

Tahun ini, banjir terjadi di banyak wilayah. Tapi, yang paling ramai dibully hanya Jakarta. Apakah banjir Jakarta lebih ekstrem dan lebih besar dampaknya dari daerah lain? Tidak! Apakah banjir Jakarta lebih buruk penanganannya dari tahun-tahun sebelumnya? Tidak! Apakah banjir di Jakarta lebih banyak korban? Tidak juga! Apakah banjir di Jakarta lebih luas areanya? Tidak! Silahkan cek data. Semua terbuka dan transparan. Bisa dibandingkan.

Lalu apa sebabnya? Karena Jakarta dipimpin gubernur bernama Anies Baswedan. Kesimpulan ini “mafhum” di kepala publik.

Banjir dimana-mana, tapi yang diramaikan Jakarta. Ini politis, kata Sutiyoso, mantan gubernur DKI. Jangan ragukan pernyataan Bang Yos, panggilan akrab Sutiyoso. Soal Jakarta, Bang Yos lebih paham, karena pernah jadi gubernur di era lima presiden. Dari masa Soeharto (1997) hingga Susilo Bambang Yudhoyono (2007).

Kalau kita cek data, penanganan banjir di Jakarta justru jauh lebih baik dari daerah lain. Dan lebih baik juga dari tahun-tahun sebelumnya. Tapi, data-data itu terabaikan, karena fokus sasarannya hanya pada Anies.

Banjir Jakarta sudah surut karena cepat penanganannya. Pompa air yang disediakan Pemprov DKI berfungsi dengan baik, kata Muhammad Yusuf, ketua RT 02 RW 01 Kelurahan Rawa Buaya Jakarta Barat. Tapi, hanya satu kekurangan Pak Anies, Pak Anies gak punya buzzer.

Pada akhirnya, soal Jakarta, baik buruknya, termasuk juga tentang banjir, bergantung siapa yang bicara. Siapa yang mempersepsikan dan mengopinikan. Bukan tergantung pada data yang ada.

Publik berhasil mengidentifikasi siapa yang rajin menyerang Anies. Baik personal, maupun kader partai. Orangnya itu-itu aja, kata netizen. Prestasinya aja (dapat penghargaan) diserang, apalagi kebijakannya. Pokoknya, Anies selalu salah di mata mereka.

Kalau yang bicara kader PSI dan PDIP, Jakarta terlihat semuanya seolah-olah buruk. Gak ada bagusnya sama sekali.

Ini bukan soal suka atau benci. Gak ada urusannya dengan perasaan. Ini gak ada kaitannya dengan nilai moral. Karena, Anies sesungguhnya gak ada masalah dengan partai, maupun dengan kader PDIP dan PSI. Hubungannya selama ini baik-baik saja. Ini hanya soal politik.

PDIP punya kepentingan di pilgub DKI dan Pilpres 2024. Anies didukung oleh kelompok yang bukan konstituen PDIP. Mesti tak menutup kemungkinan, jika 2024 Anies makin menguat elektabilitasnya, PDIP boleh jadi akan merasionalisasi pilihan dan dukungan politiknya. Dalam politik, gak ada istilah lawan dan kawan abadi. Yang ada adalah kepentingan abadi.

Bagi PSI, tak ada masalah “sama sekali” dengan Anies. Secara personal, semua kader PSI punya hubungan yang baik dengan Gubernur DKI. Tapi, dalam konteks politik, PSI butuh panggung. Apalagi, saat ini PSI tak mencapai parliamentary threshold (4 persen). Butuh secara masif untuk melakukan branding. Panggung yang paling efektif untuk branding adalah mengkritisi Anies. Secara teoritis, kritik kepada tokoh populer, akan ikut mendongkrak popularitas. Inilah yang sedang dimainkan oleh PSI.

Banjir tahunan di Jakarta adalah momentum. Isunya seksi. Sebab, ini menyentuh perasaan publik, terutama para korban. Tinggal bagaimana menarasikannya.

Seandainya tahun depan Jakarta sudah tidak banjir, apakah PDIP dan PSI akan berhenti mengkritik? Tidak! Karena substansinya bukan ada pada kasus banjir. Tapi ada pada kepentingan politik yang hanya tercapai ketika melakukan kritik kepada Anies.

Jakarta, 23 Februari 2021