Aendra M Kartadipura Wartawan Senior, Pemimpin Redaksi Jakartasatu.com & ENERGY WORLD INDONESIA (EWINDO)/DNS

OLEH Aendra M Kartadipura *)

Perusahaan Gas Negara (PGN) sedang dirundung pajak. Seorang Ekonom Konstitusi Defiyan Cori membuat rilis dengan judul Implikasi Sengketa Pajak PGN Terhadap Pertamina Sebagai BUMN Holding Migas.

Isi rilis saya kutip sebagai berikut: Sengketa pajak antara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT (Persero) Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) dengan pihak Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) yang ditempuh melalui proses hukum di Mahkamah Agung (MA) telah berkekuatan hukum tetap. Pada halaman penjelasan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang disampaikan pada Hari Senin tanggal 4 Januari 2021, hasil sengketa ditingkat MA itu menetapkan bahwa PGN berada pada pihak yang kalah dan diharuskan memenuhi tuntutan Ditjen Pajak.

Hasil akhir sengketa ini berbeda dengan keputusan vonis majelis hakim Pengadilan Pajak sebelumnya yang mengabulkan permohonan PGN pada Tahun 2019 atas upaya hukum banding yang diajukan oleh Ditjen Pajak. Walaupun kasus dan landasan hukumnya sama, yaitu merujuk pada Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) Pasal 4 ayat (2) beserta penjelasannya, namun keputusan hukumnya berbeda. Perbedaan hasil sengketa ini berasal dari penjelasan Pasal 4 ayat (2) huruf a UU PPN, yang menyatakan: “Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya meliputi: b. gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat” dikenakan PPN.

Dilain pihak, penjelasan yang lebih rinci dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 252 tahun 2012, pasal 1 ayat 1 menyatakan, bahwa gas bumi merupakan barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Cakupan soal gas bumi yang tidak dikenai PPN adalah gas bumi yang dialirkan melalui pipa, liquified Natural Gas (LNG) dan Compressed Natural Gas (CNG). Sementara dalam pasal 2 PMK tersebut dinyatakan, bahwa Liquified Petroleum Gas (LPG) dalam tabung yang siap dikonsumsi masyarakat atau yang dikenal sebagai elpiji tidak termasuk dalam cakupan gas bumi yang tidak dikenakan PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1.

Dengan demikian, elpiji merupakan barang kena pajak dan dikenakan PPN, sedangkan gas bumi yang dialirkan melalui pipa, LNG dan CNG tidak kena PPN, berarti terdapat penafsiran yang berbeda dari majelis hakim yang mengadili sengketa ini. Menanggapi keputusan MA ini, maka perlu kiranya publik memperoleh klarifikasi atas hal-hal sebagai berikut:

1. Bahwa sengketa pajak antara PGN dengan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang terjadi atas objek bukan pajak yang dimiliki oleh perusahaan negara merupakan sebuah perbedaan penafsiran yang seharusnya tak ditempuh melalui langkah hukum yang akan terus dilanjutkan.

2. Namun demikian, keputusan Mahkamah Agung (MA) yang memerintahkan PGN (PGAS tercatat di BEI) harus membayar sebesar Rp 3,06 triliun ke Ditjen Pajak sebagai bagian pajak terutang sebagaimana yang disengketakan di pengadilan merupakan sebuah tindakan inkompetensi dan tidak profesional serta kelalaian jajaran Dewan Manajemen PGN pada periode kasus terjadinya sehingga berimplikasi pada jajaran Direksi dan Komisaris saat ini yang sedang mengemban amanah.

3. Disamping itu, posisi PGN saat sengketa pajak terjadi masih merupakan perusahaan yang otonom dan tidak memiliki induk (belum ada kebijakan holdingisasi), sementara PT Pertamina (Persero) resmi menjadi induk usaha holding BUMN Migas melalui penandatangan Akta Pengalihan Saham PGN ke Pertamina per 11 April 2018. Dengan telah ditandatanganinya Akta Pengalihan Saham, seluruh aspek administratif legal holding migas telah selesai dan PGN resmi menjadi anak usaha Pertamina. Pertanyaannya, apakah segala permasalahan manajerial PGN, termasuk soal sengketa pajak dengan Ditjen Pajak yang terjadi sebelum kebijakan holding ini otomatis juga menjadi beban induk? Lalu, bagaimana pula pertanggungjawaban jajaran Direksi PGN sebelum Dirut PGN Suko Hartono menjabat?

Dalam perspektif inilah, maka upaya Dirut PGN atas penyelesaian permasalahan sengketa pajak dengan Ditjen Pajak menjadi bagian yang tidak terpisahkan atas posisi BUMN Pertamina dan PGN, sebelum maupun sesudah kebijakan holding ditetapkan. Artinya, kebijakan holding dan sub holding antara Pertamina dan PGN mempengaruhi posisi masing-masing Dewan Direksi dan Dewan Komisaris sehingga dengan sadar menerima implikasi atas penyelesaian permasalahan hukum atau kasus korporasi yang telah terjadi beserta tanggungjawab manajerial yang menyertainya. Dan, tentu saja akibat yang ditimbulkan dari kekalahan dalam sengketa pajak di MA bukanlah merupakan perwujudan dari tidak kompeten dan profesionalnya Dirut PGN Suko Hartono seorang diri, sedangkan jajaran Direksi dan Komisaris telah berulangkali diganti.

Rilis Defiyan  memang sangat detail namun jika di telisik saya tergerak meberikan sejumlah catatan yang menarik di kasus Pajak PGN ini. Kita harus bedakan antara gas bumi dan LPG. Gas bumi diambil langsug dari sumbernya. Sedangkan LPG adalah hasil pengolahan di kilang.

Seorang sumber saya dalam dunia migas yang sangat expert menyampaikan pesan bahwa tujuan memberikan pengecualian PPN untuk gas bumi adalah untuk mendorong pemakaian gas bumi di Indonesia dan mengurangi impor minyak dan LPG. “Saya kira itu sah-sah saja,” ujar sumber saya yang juga kawan diskusi yang asyik untuk urusan migas.

Kawan ini juga mengatakan dalam kasus PGN, menurutnya dalam UU tersebut tidak menjelaskan terkait biaya pengiriman gas bumi, apakah dikecualikan PPN seperti halnya untuk gas bumi itu sendiri. Di sisi lain, mode penjualan gas bumi oleh PGN adalah beli langsung dari sumbernya dan jual langsungg ke pembeli. “Seharusnya masuk ke dalam kategori bebas PPN,” katanya.

Dikatakannya, hanya saja muncul masalah ketika PGN membagi biaya yang dibebankan ke konsumen menjadi 2, yaitu biaya dalam USD dan biaya dalam rupiah. Ini yang membuat Dirjen Pajak melakukan investigasi. “Mungkin ini mungkin ya  dalam investigasi tersebut, PGN sempat mengatakan biaya USD adalah untuk harga gas hulu, sedangkan biaya rupiah itu biaya pengangkutannya saja,” jelasnya pada saya.

Makanya Dirjen pajak membebani PGN dengan PPN terkait biaya pengangkutan yang total nilainya 3T. Dan itu karena dari beberapa tahun terjadi. Kawan saya juga mengatakan bahwa ini dianggap daerah multi tafsir (grey area). Nggak salah PGN ngotot itu biaya unbundling sehingga semuanya bebas PPn. Dan nggak salah juga pajak berpendapat biaya rupiah adalah biaya pengangkutan yang kena pajak.

“Makanya hasil pengadilannya pun berbeda-beda sampai akhirnya MA memutuskan PGN kalah. Dan kenyataannya ya harus diterima karena sudah berkekuatan hukum,” begitu kata kawan saya ini.

Kalau dilihat rilis Defian mengatakan untuk Dirut PGN Suko Hartono seorang diri ya benar, namun karena bukan salahnya direksi yang sekarang karena proses pengadilannya sudah lama. Hanya hasil MA-nya baru sekarang.

Tapi ada solusi dari kawan saya yang ahli migas ini, menurutnya, agar PGN sebagai BUMN (kini holdingnya Pertamina) tidak menjadi sulit, lebih baik diberi kesempatan untuk memcicil pembayaran tersebut. Toh PGN adalah BUMN yang sehat dan bisa bayar. “Hanya saja kalau harus bayar 3 T sekaligus akan membebani kas mereka yang mana PGN butuh dana investasi dari kantongnya sendiri. Bukan dari negara (APBN) dan bukan juga dari Pertamina,” terangnya.

Saya melihat Defian sudah menganilsa baik dengan rilisnya dan kawan saya lebih dalam memahami bisnis tentang kasus yang PGN alami kini. Saya suka kalimat ini yang mantap “kalau harus bayar 3 T sekaligus akan membebani kas mereka yang mana PGN butuh dana investasi dari kantongnya sendiri. Bukan dari negara (APBN) dan bukan juga dari Pertamina.”

Jadi jelaskan kalau PGN adalah BUMN jadi harusnya selamatkan saja minta MenBUMN dan MenESDM dialog dengan Dirjen Pajak dan minta pencicilan bertahap, agar urusan pajak beres dan hukum tetap jalan. Bukankah kita sedang membangun negeri yang baik untuk energi bersih yang sedang PGN Kampanyekan? Dan kita juga sedang dan harus menuju bersih akan semua landasan hukum konstitusi dan juga tentunya jalanya bisni yang sehat.

Ayo Pak Erick dan Pak Tasrif jika perlu presiden juga harus ikut bantu PGN dalam kasus pajak ini. Semoga PGN tetap ada dan di lantiai bursa juga tetap melantai dengan dengan baik dan clear and clean.

PGN oh,,, PGN ceritamu penuh liku dari sejarah lama dan pengabdian lama dan kini perlu uluran kepedulian para pihak yang bisa berdialog damai tanpa melangar aturan dan putusan MA. Tabik!

*)Wartawan Senior, Pemimpin Redaksi ENERGY WORLD INDONESIA (EWINDO)