Husni Agus wartawan senior/ist

Oleh  Husni Agus

BERDAGANG uang (rente atau bukan), memang, suatu bisnis yang nggak ade matinye dan sangat menggiurkan bagi para pemburu laba. Kini, bisnis ini pun mendapat dukungan dari teknologi atau lazim disebut financial technology (fintech), yang mempermudah dan mempercepat transaksi keuangan (urusan meminjam uang) dalam hitungan detik.

Di Indonesia sendiri, dalam tempo kurang dari lima tahun, sudah ada sekitar 235 fintech yang beroperasi secara legal di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Bahkan diperkirakan, jumlahnya akan terus bertambah, mengingat peluangnya sangat besar di saat sulit mendapatkan uang cash akibat pandemic serta prospek konsumen dalam jumlah fantastis.

Di akar rumput, fintech yang tumbuh mulai di tahun 2016 itu, dikenalnya sebagai “pinjaman online”. Ya, tidak ada yang salah, sejak kali pertama model bisnis ini dirintis Zopa, lembaga keuangan asal Inggris tahun 2004, memang lebih fokus pada jasa layanan peminjaman uang. Juga kehadirannya di Indonesia tak lepas dari bibitnya, meski Bank Indonesia (BI) mengklasifikasikan fintech menjadi empat kelompok jenis usaha : a). pembayaran, setelmen dan kliring; b). market aggregator; c) manajemen risiko dan investasi; d) peer to peer lending (P2P lending) atau pinjaman langsung dari fintech kepada peminjam.

Jangan berkelit! Catatan data OJK menunjukkan, cakupan transaksi starup fintech di tahun 2017 mencapai 18,65 miliar dollar AS atau setara 277,89 triliun rupiah, dengan total jumlah peminjam sebanyak 260 ribu orang di awal 2018. Catatan Asosiasi Fintech Indonesia pun kian mempertegas, bahwa mayoritas perusahaan fintech bergerak di P2P lending atau pinjaman langsung secara online.

Sudah viral Bung! Pinjaman online sudah merebak serta merambah ke akar masyarakat, baik di perkotaan maupun sampai ke pelosok daerah, mengingat kemudahan serta kecepatan untuk mendapatkan uang cash tanpa berfantasi mendapatkan dana bansos dari pemerintah.

Secara umum, trend bisnis financial yang didukung teknologi ini, akan semakin bohai bila tidak disebut seksi bagi para pemburu laba. Tentu saja, tidak mengherankan bila pihak asing pun ikut nyangkul di ladang yang satu ini, seperti halnya Fairbanc, startup fintech berbasis di San Francisco, AS, setelah mendapat suntikan dana dalam jumlah besar ( salah satunya) dari miliarder Indonesia, Michael Sampoerna.

Sampoerna Strategic, anak perusahaan Sampoerna Grup yang bergerak di bidang investasi, mulai dari pertanian, property, telekomunikasi, keuangan dan lain-lain sudah mengingat janji dengan Fairbanc. Kedua belah pihak sudah sepakat untuk menggempur prospek market di Indonesia yang mayoritas penduduknya belum tersentuh perbankan. Catatan World Bank, sedikitnya ada sekitar 95 juta penduduk dewasa di Indonesia yang tak memiliki account resmi di lembaga-lembaga keuangan.

Sampoerna merupakan salah satu dari 500 starup di seluruh dunia yang sudah bergabung dengan Fairbanc. Fairbanc sendiri diluncurkan tahun 2018, memanfaatkan peluang pasar dengan dukungan platform AI (artificial intelligent) pinjaman dan pembayaran mobile—melalui telepon genggam – yang dirancang khusus untuk usaha skala kecil dan menengah, mengingat sektor tersebut merupakan pasar yang sedang tumbuh.

Intinya, Fairbanc menawarkan kredit kepada para pengusaha atau pedagang yang tak memiliki rekening bank sehingga mereka dapat membeli produk-produk dari sejumlah merk besar, salah satunya Uniliver yang sudah meluncurkan program starup Uniliver Foundry.

Pihak Fairbanc hakul yakin bakalan mendulang kesuksesan di Indonesia. Layanan jasa pinjaman kredit online yang mereka jajakan sudah diujicoba di Bangladesh tahun 2018 dengan tingkat partisipasi gerai atau outlet tumbuh 35% dalam penjualannya melalui program tersebut.

Bahkan, setidaknya guna menghindari penolakan dari mayoritas konsumen Muslim (yang mengharamkan riba), pihak Fairbanc menjalin kemitraan dengan organisasi Islam terbesar di Indonesia untuk menawarkan pembiayaan keuangan Shariah kepada 100 juta anggotanya.

Setelah menggaet Sampoerna, Fairbanc menghimpun kekuatan pula, bermitra dengan konglomerat Indonesia, Sinar Mas, guna memperluas pinjaman atau kredit online kepada pengusaha skala kecil dan menengah, terutama para pedagang kelas warung yang menjual produk-produk Uniliver serta produk kebutuhan pokok sehari-hari (fast moving product) lainnya.

Rupanya, Fairbanc tidak mau ketinggalan, setelah sejumlah pebisnis besar di Indonesia terjun ke bisnis ini, seperti Maspion Grup (Bank Maspion) dengan platform pinjaman online Rarali.com. Gosipnya, City Bank sudah mempersiapkan platform aplikasi (app) bKash, yang memungkinkan konsumen dapat secara instan mendapatkan pinjaman atau kredit tanpa agunan, cukup dari smartphone.

Sekali lagi, bisnis ini diperkirakan akan terus berkembang pesat, baik di masa pandemi maupun setelahnya. Jadi, wajar sajalah bila di masa sulit ekonomi saat ini ada yang mengatakan : “Cash Money is King” (uang cash adalah raja). ***