ilustrasi

Oleh : Husni Agus

PANDEMI virus corona atau Covid-19, akhirnya menjadi “kambing hitam” dari pelambatan laju pertumbuhan ekonomi di banyak negara, termasuk Indonesia, tentunya dengan kondisi objective yang berbeda-beda di setiap negara. Lain Indonesia lain pula India dalam menghadapi persoalan tersebut.
Selain mencari antidote atau vaksin penawar virus corona, banyak negara juga mulai mencari antidote guna menggerakkan roda perekonomian yang terhenti akibat kebijakan lockdown dan ketergantungan supply chains kepada China.
Mereka merancang strategi dan melakukan langkah-langkah yang realtistis untuk menggerakkan roda perekonomiannya. Mereka tidak berdiam diri menunggu sampai seluruh rakyatnya menerima vaksin penawar untuk bisa menggerakkan roda perekonomian. Apakah adanya antidote virus corona dapat menjamin bergeraknya roda perekonomian?
Pandemi virus corona, memang, telah menggugah kesadaran baru para pemimpin negara di dunia untuk melakukan pemikiran ulang mengenai apa yang harus mereka lakukan tanpa menunggu semua rakyatnya mendapatkan antidote virus corona.
Nah, lahirlah “perlawanan” terhadap Cina, seperti yang dilakukan India, Jepang dan Australia sebagai bentuk kesadaran atawa pemikiran ulang. Tentunya, kesadaran untuk mulai membangun ketahanan supply chains di wilayah Indo-Pasifik – mengurangi ketergantungan perdagangan kepada Cina mengingat ketika virus corona pertama kali merebak di Wuhan, Cina, pasokan barang-barang ke wilayah Asia menjadi terputus.
Ketiga negara tersebut sudah memukul genderang perlawanan dengan menekankan perlunya suatu lingkungan perdagangan yang bebas, adil dan dapat diduga (free, fair dan predictable). Sekaligus menyerukan kepada negara-negara di wilayah Indo-Pasifik yang memiliki pemikiran serupa untuk berpartisipasi.
Bahkan, secara terbuka Perdana Menteri India Narendra Modi, mengajukan pemikiran bahwa global supply chains bukan lagi berlandaskan pada keuntungan biaya (cost benefits) tetapi berlandaskan pada kepercayaan (trust) dan stabilitas (stability) – mengingat selama ini perekonomian global sangat bergantung pada China yang dikenal murah dalam cost produksi barang-barang.
Gayung bersambut. Pemerintah Jepang pun meluncurkan program pemberian subsidi untuk membantu perusahaan-perusahaan Jepang keluar dari Cina, kembali ke Jepang atau memindahkan tempat produksinya ke negara-negara di kawasan Asia Tenggara — India dan Bangladesh menjadi negara tujuan perusahaan-perusahaan Jepang.
“Pandemi telah menunjukkan kepada dunia bahwa keputusan dalam mengembangkan global supply chains tidak hanya semata berlandaskan pada biaya produksi. Juga harus berlandaskan pada trust (kepercayaan). Perusahaan-perusahaan sekarang ini juga menginginkan reliability serta stabilitas kebijakan…India adalah lokasi yang memiliki semua kualitas tersebut,” ungkap Modi saat berpidato di Forum US-India Strategic Partnerhip beberapa waktu lalu.
India memang bukan satu-satunya. Banyak negara yang menggantungkan perdagangannya dengan Cina sangat menderita akibat terputusnya pasokan barang-barang akibat pandemic sehingga merasa perlu adanya pemikiran ulang.
Menangkap peluang tersebut, pemerintah India pun menyiapkan strategi, yang dijalankan secara serius dan bukan sebatas omong doang untuk menghibur 1.3 miliar penduduknya. Strategi yang diberi label “Aatmanirbhar Bharat” , setidaknya, bertujuan mengukuhkan serta meyakinkan bahwa India memiliki kemampuan untuk bertindak sebagai kekuatan global. |”India yang berdiri di kaki sendiri dan penuh kedamaian memberi keyakinan akan kehidupan dunia yang lebih baik,” ungkap Modi.
Strategi berlabel “Aatmanirbhar Bharat”, jelas, suatu upaya pemerintah India membangkitkan perekonomian untuk keluar dari keterpurukan akibat pandemi. Ada lima pilar dari strategi yang hendak dikembangkan: Pertama, potensi perekonomian untuk melakukan lompatan jauh (quantum leaps); Kedua, infrastruktur; Ketiga, teknologi-sistem pendorong; Keempat; demografi; dan terakhir adalah intelijen-sistem pendorong pasokan.
Tetapi inti dari strategi yang dikampanyekan pemerintahan PM Narendra Modi tersebut adalah sebagai jalan kebangkitan ekonomi India dan mengubah perilaku masyarakat untuk menggunakan serta mencitai produk dalam negeri — “vocal for local” products.
Untuk itu, pemerintah India telah menyiapkan paket keuangan (financial package) untuk lima tahun ke depan, yang diharapkan dapat menggerakkan berbagai sektor perekonomian di dalam negeri. Tetapi yang terpenting, adanya dukungan dari mayoritas rakyat India, sebagai bentuk dari optimisme dan motivasi kolektif untuk menjadi negara yang berdiri di kaki sendiri (self-reliance).
Betapa tidak. Baru-baru ini, survey yang dilakukan perusahaan media terbesar di India, India Today Group-Karvy Insights Mood of The Nation (MOTN), memperlihatkan adanya dukungan terhadap strategi pemerintahan PM Narendra Modi. Sebanyak 53 persen dari 12.021 responden menyatakan sudah tepat waktunya bagi pemerintah untuk mengkampanyekan Aatmanirbhar Bharat — dukungan terbesar berasal dari wilayah Selatan sebesar 63 persen dan Barat 64 persen. Hanya 38 persen yang meyakini negaranya belum memiliki kemampuan atau kapabilitas untuk menjadi negara mandiri.
Survei nasional tersebut dilaksanakan di Andhra Pradesh, Assam, Bihar, Chhattisgarh, Delhi, Gujarat, Haryana, Jharkhand, Karnataka, Kerala, Madhya Pradesh, Maharashtra, Odisha, Punjab, Rajasthan, Tamil Nadu, Telangana, Uttar Pradesh and West Bengal. Dengan spesifikasi, 67 persen survey dilaksanakan di wilayah-wilayah pedesaan dan sisanya 33 persen di wilayah perkotaan.
Besarnya dukungan membuat PM Narendra Modi berani pasang badan dengan melarang (menghentikan) 59 platform aplikasi (app) asal Cina beroperasi di India. Ia mengundang seluruh komunitas teknologi informasi (IT) di negaranya untuk berpartisipai dalam “Aatmanirbhar Bharat App Innovation Challenge”. Langkah ini, setidaknya, membakar semangat nasionalisme untuk berdiri di kaki sendiri.
Sementara itu, baru-baru ini setelah 1 tahun lebih perekonomian tidak bergerak akibat pandemic, Presiden RI Joko Widodo dalam suatu forum seperti diberitakan Metro TV mengajak masyarakat untuk membenci produk-produk asing dan mencintai produk dalam negeri.
Tapi rupanya, bapak presiden kita ini lupa, bukankah produk-produk asing yang banyak beredar di Indonesia adalah produk Cina? Lagi pula, ajakan itu kan cuma basa basi saja untuk konsumsi menjaga citranya sebagai kepala negara, tidak serius seperti India. Yang pasti, lain India lain pula Indonesia.***