ilustrasi

Oleh : Husni Agus *)

TIDAK perlu menjadi presiden untuk berkuasa yang penting bisa menguasai presiden untuk berkuasa. Itulah ungkapan tepat bagi sekelompok orang yang telah mengkudeta presiden kita dari awal periode sampai saat ini, sehingga pemimpin pilihan rakyat menjadi kelihatan tidak berdaya ketika di hadapkan pada persoalan yang tidak diduga-duga (unanticipated challenges): berlarut-larutnya penanganan pandemi virus Covid-19 , ambrolnya ekonomi nasional, dan lain-lain.

Presiden (sudah) dikudeta? Ini bukan lagi isu baru tetapi sudah menjadi realita, yang sebenarnya bisa kita rasakan sejak Jokowi menjadi presiden di periode pertama (2014), sehingga kemudian muncul tuduhan terhadap pemerintahannya sebagai “pemerintahan oligarki” , pemerintahan “berhaluan kiri” yang anti Islam, dan lain sebagainya.

Jokowi pun dikatain planga-plongo. Ya, setidaknya karena ia tak mempunyai kekuasaan penuh, ia hanya petugas partai yang tidak memiliki akar dan pengaruh politik kuat di partai berlambang banteng. Kebetulan atau tidak. Jokowi adalah seorang warga sipil biasa yang bermutasi dari nobody menjadi somebody dimulai dengan menjadi Walikota Solo dan kemudian jadi Gubernur DKI.

Sejak tampuk sebagai presiden, Jokowi tak leluasa dan memiliki kekuatan politik untuk mengimplementasikan gagasan-gagasan cemerlangnya, begitupula program-progam kerja pemerintahannya. Buktinya, program Nawacita tidak bisa dikampanyekan secara nasional, hingga berwujud nyata dan bisa dirasakan seluruh rakyat Indonesia dalam lima tahun periode pertama pemerintahan Jokowi.

Bahkan, gagasan “Revolusi Mental” pun hanya sebatas iklan cepat basi, numpang lewat untuk menegaskan bahwa ia seorang pemimpin yang memiliki gagasan besar. Malah belakangan, gagasan tersebut mendapat tandingan dari pemimpin besar Front Pembela Islam (FPI), yang meluncurkan “Revolusi Akhlak” meski tidak jelas bagaimana mewujudkannya – tapi sudah dianggap ngeledek regim berkuasa.

Ketidakberdayaan Jokowi, juga terbukti ketika ia dihadapkan pada berjilid-jilid demo umat Islam yang menuntut keadilan atas kasus Basuki Cahaya Purnama alias Ahok (kasus penistaan agama). Ia malah memilih pergi dari istana ketimbang menemui dan berdiskusi dengan perwakilan demo umat Islam. Wajar bila masalahnya menjadi” api dalam sekam”, tidak lantas padam menjadi suatu kebaikan bersama. “No Way!” kata istana.

Istana balik menyerang. Isu “toleransi” dijadikan senjata untuk menyerang, menciptakan kondisi seolah-olah sedang terjadi intoleransi dari umat Islam terhadap warga non Islam, yang ujung-ujungnya isu tersebut dikaitkan sebagai upaya menjaga kesatuan dan persatuan NKRI. Korbannya, siapa lagi jika bukan HTI (Hizbut Thahrir Indonesia), yang dibubarkan pemerintah dan diresmikan sebagai organisasi terlarang.

Kegaduhan di tanah air tak lantas mereda. Masyarakat terbelah antara cebong dan kampret, yang saling baku kata di jagat media social, baik semasa Pilpres 2019 lalu maupun sesudahnya. Meski Ketua MUI sudah ditarik menjadi Wakil Presiden, kemudian Prabowo Subianto sebagai lawan politik juga direkrut menjadi Menteri Pertahanan di gerbong kabinet pemerintahan Jokowi, toh kegaduhan di pentas politik tanah air terus berlanjut.

Lagi-lagi, Jokowi dipandang tidak punya nyali politik sebagai presiden di periode kedua, setidaknya ketika dihadapkan pada aksi demo buruh menentang Omnibus Law. Entah siapa yang menyarankan agar ia pergi dari istana, mengunjungi kandang bebek, ketimbang menemui dan bertukar pikiran dengan perwakilan aksi demo tersebut. “No Way!” kata istana.

Istana memilih jalan “pendekatan keamanan”. Berhasil. Ayo tepuk tangan! Meski kemudian diejek sebagai regim represif dan anti demokrasi. Ya, gerakan oposisi dan segala bentuk yang bertentangan dengan pemerintahan Jokowi pun, dilakban rapat agar tidak ngoceh, koar-koar menggangu jalannya pemerintahan. Korbannya, tak kurang dari Syahganda karo konco-konco dari Gerakan Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), lalu Habib Riziq Shihab dan FPI yang menawarkan rekonsiliasi tapi istana bilang: |No Way!

Paling anyar, ketika terjadi kemelut di tubuh Partai Demokrat yang berkaitan dengan salah seorang “anak buah” presiden, istana menolak surat dari AHY selaku Ketum Partai Demokrat yang terpilih secara aklamasi. Surat itu, boleh jadi permintaan kepada presiden untuk menyelesaikan kemelut di Partai Demokrat, mengingat keterlibatan salah seorang “anak buahnya”. “No Way!” kata istana.

Apakah Jokowi mastermind di balik sirkus politik regim berkuasa? Banyak pihak tidak percaya dan yakin. Bagaimanapun juga, Jokowi tak memiliki kekuatan politik apapun, ia hanya punya persona sebagai orang baik, bersih serta merakyat.

Celakanya, kini presiden tak ubahnya seperti “kuda delman” yang dikendalikan pak kusir, ya katanya sih supaya baik jalannya. Duk… Dik… Dak…Dik…Duk…suara sepatu kuda.***

*)WARTAWAN SENIOR