Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono/IST

OLEH  Imam Wahyudi, Wartawan Senior

Gonjang-ganjing Kongres Luarbiasa (KLB) Partai Demokrat menyeruak. Tak peduli di masa pandemi. Kedua pihak bagai terjebak “momentum”.

Klaim KLB yang “menghasilkan” Moeldoko sebagai ketua umum, dipastikan mengabaikan “momentum” tak bersahabat. Alih-alih mempertajam kekhususan penanganan dan pencegahan pandemi yang tak kunjung sepi. Moeldoko sebagai bagian terpenting pemerintahan dan negara, justru bagai “menari di atas penderitaan rakyat”. Kritikan dan bully pantas dia terima. Malah, bisa lebih dari hujatan itu.

Tak perlu mempertanyakan sikap Sapta Marga dari seorang prajurit TNI. Tak perlu pula dalam konteks seorang jenderal, mantan Panglima TNI dan kini Kepala Staf Kepresidenan (KSP). Praktis, kesehariannya berada di Istana Presiden. Moeldoko adalah pejabat negara yang praktis tidak boleh partisan. Lebih dari cukup pemahaman rakyat tentang keharusan menjungjung tinggi sumpah prajurit. Selanjutnya menjaga marwah dan wibawa pemerintah yang wajib berdiri tegak di atas semua golongan dan kepentingan.

Pihak Partai Demokrat dengan ketua umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), juga cenderung abai “momentum”. Andai saja, konsolidasi DPD Partai Demokrat dilakukan sesegera — saat terindikasi bakal adanya “kudeta” — hasilnya bisa lain. Mungkin saja, tak terlanjur “mengkristal” dan bergulir “semerawut”. Mungkin pula lantaran belum ada bukti yang menguatkan dugaan. Malah, secara sederhana — karena pertimbangan menghindari kerumunan di masa pandemi.

Saat banyak pihak tak menduga adanya KLB di masa pandemi, justru pihak Moeldoko memaksa “mencuri adegan”. Muluskah jalan Moeldoko dkk? Cermat saya, Tidak! Bukan semata gagal memahami aspek legal standing daripada KLB ujug-ujug itu. Selebihnya, secara sederhana — dalam hal “momentum” dan terusiknya kepercayaan kepada pemerintahan Presiden Jokowi. Meski tak sesederhana itu, kekinian — rasanya hal itu akan jadi pertimbangan. Bukan melulu argumen kekuasaan politik.

Bila sebaliknya, pemerintah justru melancarkan proses hasil KLB — dipastikan gelombang distrust terhadap pemerintahan. Lebih dari itu, sistem demokrasi bakal tambah ambrol. Di satu sisi, bahwa parpol sebagai pilar demokrasi. Pada sisi lain, justru parpol berlaku bak “parasit” demokrasi itu.

Tak berlanjutnya kekuasaan partai hasil KLB, justru dapat dianalis dari pernyataan Marzuki Alie. Dia yang didaulat sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat versi KLB, mengaku tak tahu menahu soal agenda KLB itu. Dengan kata lain, Marzuki tak serta-merta melakukan klaim KLB sebagai sah dan ini itu. Marzuki bak menunggu muntahan. Soal prasyarat KLB yang harus mendapatkan persetujuan dari ketua dewan pembina, adalah hal lain sebagai “masalah” internal Partai Demokrat.

Kubu AHY hasil Kongres Partai Demokrat 2020, kiranya lebih form dalam legitimasinya. Hal legitimasi berada di tangan kadernya. Bukan pada pemerintahan dan lainnya. Meski perlu berkunjung (lagi) ke Kemenkumham untuk meyakinkan secara administratif dan fisik pemegang hak pilih kongres. Selangkah maju untuk AHY dkk dalam mempertahankan posisi hukum kepemimpinan Partai Demokrat.***