Oleh: Taufan S. Chandranegara, praktisi seni.
Perdebatan tentang air versus langit hampir dibilang nyaris tak ada, kalau pun ada barangkali di lubuk hati terdalam, mungkin malah serupa pertanyaan terheren-heran ‘mengapa langit sedemikian maha luas, setetes embun mampu memberi kesegaran oksigen’, planet di bimasakti mencapai esensi sublimasi edukasi kultural, sains-teknologi, tak serupa debat kusir di planet utopia nun jauh tak bertepi, berkicau sebatas mencapai lehernya sendiri.
Fakta air bukan fakta langit, demikian pula sebaliknya, langit atau air dua produk ilahiah
sangat bermanfaat bagi makhluk hidup di bimasakti, sebagaimana sifat hakikatnya, air
memberi kesegaran oksigen ke udara mencapai langit, demikian pula sebaliknya,
keseimbangan saling memberi manfaat. Tak sekadar mencapai makrifat untuk mufakat
sebatas kata gayung bersambut di balik bantal, mimpi indah di sangkar sendiri.
Kalau mau berkehendak mencapai kesadaran oksigen paripurna kawasan bening, kebenaran filosofis-garis tebal bagi fakta materi, itu, sebabnya pula tak ada bimasakti tak ada langit, tak akan ada pula kehidupan. Para-isme akan jungkir balik di ruang hampa tak sewarna tak serupa apapun, tak ada pula arti dari materi ke-isme-an, bertopeng-topeng.
Para pujangga menulis prosa, menata esai bagi langit mencipta awan memberi hujan,
membuka mata air penyubur kehidupan para planet, mencipta kebaruan daya kebudayaan
kemaslahatan bagi keramaian beragam kehidupan, merencanakan benua baru di planet-planet cipta ning jagat ilahi, perubahan tak sekadar menjadi cuaca polusi, akan tetapi pernyataan pencapaian cahaya penciptaan.
Syair menulis kata tak sekadar memberi amal pada berita tertulis bagi publik di antara
kebenaran cita-cita. Mungkin saja bunga-bunga jarang bermekaran di musim kemarau,
kecuali bunga perdu, itu, pertanda paceklik bagi air pemberi amanah kehidupan, kemarau
kesedihan bagi langit apabila cahaya bening tak mampu menggapai cita rasa luasnya
pemandangan pandangan.
Berikanlah nasib baikmu sedikit saja pada malaikat pembawa kabar untuk dikirim kepada
saudaramu. Biarkan katamu menjadi syiar ketika saudara sesama membutuhkan cinta
segayung air bagi padi di sawah saudaramu. Namun jangan katakan apapun pada media
semesta. Sebab amalmu bukan untuk dosamu, di berita itu, tapi untuk memicu mata air bagi saudaramu membutuhkan air di manapun saudaramu berada.
Salamkan cinta kasihmu tanpa imbalan promo aksi, titipkan pada langit, untuk merubah
kebijaksanaan ambigu, menjadi kepentingan berita acara keselamatan semesta.
Tidak. Jangan, mengambil hakmu dari penderitaan saudaramu tanpa air, tambahkanlah cinta agar air menjadi berkat bagi saudaramu untuk hidupnya, atas segala hal menjadi hidup baginya juga keluarganya. Air ataupun langit milik bagi kehidupan. Salam keren Indonesia.
Jakarta Indonesia, Maret 10, 2021.