by M Rizal Fadillah

Ocehan Mahfud MD yang meminta bukti terjadinya pelanggaran HAM berat tentu tidak proporsional. Sejak awal yang dituntut oleh publik adalah Tim Pencari Fakta (TPF) Independen bukan Komnas HAM. Ini dimaksudkan agar temuan lebih obyektif, mendalam, dan tidak terpengaruh oleh kekuasaan baik Pemerintah maupun “tertuduh” yakni aparat Kepolisian.

Mahfud MD hanya menjadi corong dari semangat “Negara tidak boleh kalah” dan “Aparat juga yang tak boleh kalah”. Ini persoalan bukan kalah menang tetapi benar salah. Karenanya perlu pemeriksaan dan pengusutan kasus yang transparan dan obyektif. TPF Independen mampu untuk ini.
Komnas HAM faktanya bekerja tidak transparan dan “takut-takut” membongkar fakta. Nama yang diduga pembunuh di lapangan saja tak berani dipublikasikan.

Kesimpulan penyelidikan Komnas HAM hanya menyatakan bahwa terjadi pelanggaran HAM biasa. Meski lumayan, daripada tidak, tetapi perasaan keadilan masyarakat masih sangat mempertanyakan kesimpulan tersebut. Bukan semata keyakinan tetapi indikasi yang terbaca publik adalah terjadinya pelanggaran HAM berat yang melibatkan banyak fihak termasuk petinggi dari aparat penegak hukum dan Pemerintahan.

Pelanggaran HAM berat berdasarkan UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memiliki syarat pokok bahwa penyiksaan atau pembunuhan itu harus menjadi bagian dari “serangan yang meluas atau sistematik”.

Pasal 9 UU tersebut menyatakan :

“Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa : a. pembunuhan……f. penyiksaan..”.

Atas dasar hal tersebut, maka pembunuhan dan penyiksaan enam anggota laskar FPI memang merupakan pelanggaran HAM berat dengan alasan :

Pertama, pembunuhan dan penyiksaan adalah bagian dari serangan sistematik yang terjadi sejak pembuntutan dan penguntitan terhadap HRS tanggal 5 Desember 2020 di Mega Mendung. Diawali dengan terdeteksi pengawasan menggunakan drone oleh agen intelijen yang terbongkar laskar FPI. Pembuntutan masif berlanjut hingga operasi pengejaran pada tanggal 6 Desember 2020 yang berujung pembunuhan dan penyiksaan.

Kedua, pembunuhan ini bagian dari operasi pembunuhan politik yang bukan semata kerja aparat Kepolisian. Dimulai dari penurunan spanduk dan baliho oleh sekitar 500 personil pasukan TNI atas perintah Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman tanggal 20 November 2020. Dilanjutkan dengan teror konvoi kendaraan tempur ke markas FPI Petamburan oleh pasukan Koopssus TNI yaitu pasukan elit gabungan Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.

Ketiga, pembunuhan ini bagian dari serangan meluas atau sistematik berhubungan dengan kepulangan HRS ke tanah air, bahkan jauh sebelum kepulangannya yakni gangguan selama di Saudi Arabia. Kemudian mencari kesalahan hukum atas acara pernikahan di Petamburan dan pengajian Maulid Nabi di Mega Mendung. Semua adalah bagian dari operasi Pemerintah menekan dan melumpuhkan lawan politik.

TOL CIkampek KM 50 sebelum di bongkar/ist

Oleh karenanya pembunuhan enam anggota laskar FPI bukankah pembunuhan biasa. Pengejaran masif di jalur Karawang Timur, Karawang Barat, hingga berakhir di Km 50 tol Jakarta Cikampek adalah penuntasan operasi target atau target antara. Adanya penyiksaan menunjukkan terjadi perbuatan kejahatan pasca Km 50. Penyiksaan berat inipun menjadi indikasi terjadi pelanggaran HAM berat. Ada pesan dari teroris yang ingin disampaikan.

Maka tiada pilihan lain agar kasus ini benar-benar terbuka dan tuntas dengan menghukum semua pihak yang terlibat dengan cara Komnas HAM melakukan kerja ulang yang lebih serius, kembali dibentuk Tim Pencari Fakta Independen, atau diproses para tersangka melalui Pengadilan HAM di bawah ketentuan UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Pembunuhan sadis enam anggota laskar FPI bukan pembunuhan ecek-ecek, tetapi pembunuhan politik yang meluas atau sistematik.

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan