Aktivis ProDEM saat di MK ajukan Gugatan (JR) UU 2/2020 Corona, /ist

Oleh  Imam Wahyudi *)

PILKADA Kabupaten Bandung 2020 sudah 09 Desember lalu. Ternyata belum akhir dari sebuah kontestasi suksesi bupati. Pilkada sejatinya masih berproses. Mengapa?

Hari terakhir periodisasi jabatan bupati pada 17 Februari 2021, sudah lewat. Hari itu, agenda serahterima jabatan kepemimpinan Kab. Bandung. Dadang Naser dan Gungun Gunawan mengakhiri jabatan Bupati dan Wakil Bupati Bandung periode 2015-2020. Sestijab di Gedong Budaya “Sabilulungan” Soreang dilakukan secara hirarkis kepada Gubernur Jabar. Tidak kepada “pemenang” Pilkada Kab. Bandung. Mengapa?

Pemerintahan Kabupaten Bandung kali ini dipimpin (sementara) oleh sekretaris daerah (sekda) setempat. Kapasitasnya sebagai pelaksana tugas (Plt). Dengan kewenangan terbatas dan bersifat transisional. Mengapa?

Tiga kata tanya mengapa di atas, perlu diketahui khalayak. Hingga jawabnya. Utama bagi pemegang hak pilih dalam Pilkada Kab. Bandung 2020 tempo hari. Adalah standar berdemokrasi. Setiap warga berhak atas informasi publik, terkait dengan kepentingannya. Dalam hal ini adalah transparansi informasi publik. Terlebih hal-ikhwal pilkada yang mengait langsung akan hak dan kewajiban warga daerah itu.

Kiranya, tak sulit beroleh jawabannya. Sangat mungkin sudah beredar di kalangan yang berkepentingan tentang itu. Secara ringkas, bahwa proses pilkada masih berlangsung dan atau masih tengah berproses. Tentu, perlu pengetahuan lebih lanjut. Setidaknya secara ringkas pula.

*

KOMISI Pemilihan Umum (KPU) Kab. Bandung telah menetapkan hasil perolehan suara Pilkada Kab. Bandung 2020 pada 15 Desember 2020 malam. Paslon nomor urut 3 Dadang Supriatna – Sahrul Gunawan raih suara terbanyak (928.602). Disusul paslon nomor urut 1 Kurnia Agustina – Usman Sayogi meraih 511.413 suara, dan paslon nomor urut 2 Yena Iskandar Masoem – Atep Rizal dengan 217.780 suara.

Di atas itu, sebatas hasil pemungutan suara. Keunggulan suara belum bisa serta-merta berlanjut penetapan tentang bupati dan wakil bupati terpilih. Para paslon diberikan tengat waktu tiga hari untuk menggunakan hak gugatan. Disebut Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Kewenangan memeriksa dan mengadili adalah Mahkamah Konstitusi (MK) yang berkedudukan di Jakarta. Kabar terakhir, sidang putusan dijadualkan Kamis lusa, 18 Februari 2021 mulai pk 09.00 Wib

Nyaris tak terendus gonjang-ganjing pascapilkada hingga penetapan perolehan suara tadi. Namun, saat pihak KPU tak kunjung menetapkan paslon “pemenang” — sejak itu mulai santer adanya gugatan terhadap hasil pilkada. Semula, sejumlah kalangan berpandangan — suksesi akan berjalan mulus dan kondusif. Tinggallah menunggu sestijab dari bupati (lama) kepada bupati terpilih pada 17 Februari 2021 tadi. Begitulah prakiraan kita.

Pemahaman umum, tidaklah dimungkinkan gugatan. Selisih perolehan suara melebihi ambang batas 2,5 prosen. Dengan kata lain, MK bakal menolak. Ternyata gugatan dari relawan paslon nomor urut 1 tidak menukik pada hasil suara pilkada. Justru menyorot tajam hal narasi atau materi visi-misi paslon nomor urut 3. Gugatan ini sejatinya dilayangkan kepada pihak KPU sebagai penyelenggara pilkada.

*

FENOMENA baru dalam sistem hukum acara di MK. Bahkan kali pertama dalam peradilan PHPU. Tampaknya, MK tak serta-merta terpaku dengan paradigma selama ini. Semata bersandar pada prasyarat selisih perolehan suara yang tidak melebihi ambang batas. Dari aspek ini, jelas tak terpenuhi prasyarat gugatan. Sekali lagi, praktis ditolak. Tapi, nyatanya gugatan itu diterima dan tengah berproses di persidangan MK.

Gugatan yang secara spesifik pada materi visi dan misi paslon. Seperti diketahui, visi menggambarkan rencana yang akan menjadi tujuan. Visi senantiasa berorientasi ke depan, dengan upaya perubahan dan pengembangan. Bergandeng misi sebagai langkah mencapai visi yang telah dibuat. Misi juga mengandung aspek prioritas dan metoda.

Visi dan misi calon haruslah bersifat kualitatif. Bukan kuantitatif. Tegasnya, janji kuantitatif bukanlah hak kandidat paslon. Dia menjadi domain eksekutif bersama legislatif. Telaah kuantitatif itulah yang “dimainkan” dan dijadikan konsiderans dan atau pertimbangan gugatan. Dalam hal visi-misi, pihak tergugat (KPU Kab. Bandung) meloloskan aspek kuantitatif. Berupa pencantuman nominal uang sebagai dayatarik kepada calon pemilih. Semisal program pemberdayaan Rukun Warga (RW) dengan alokasi anggaran Rp 100 juta (atau berapa pun) dalam setiap tahun anggaran. Ya, semisal seperti itu — tidak dibolehkan. Terkait hal tersebut sudah diatur dalam Undang-undang Pilkada 2020.

Dalam pasal 184 dinyatakan, bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar dan menggunakan surat palsu seolah-olah sebagai surat yang sah tentang suatu hal yang diperlukan bagi persyaratan calon gubernur, calon wakil gubernur, calon bupati, calon wakil bupati, calon walikota dan calon wakil walikota — dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan denda paling sedikit Rp 36 juta dan paling banyak Rp 72 juta.”

Bila itu terjadi dan dapat dibuktikan, maka terpenuhi unsur pidananya — yaitu “dengan sengaja”.

*

GUGATAN pascapilkada Kab. Bandung pada awalnya dinilai janggal. Terlebih suasana tampak adem-ayem. Dimaklumi, mengingat persepsi tentang alasan dan atau pertimbangan gugatan yang “terpatri” pada selisih perolehan suara. Kiranya, sebatas itu pemahaman khalayak.

Dalam hal diterimanya gugatan oleh MK, dimungkinkan alasan yurisprudensi. Bahwa terindikasi adanya kecurangan. Suatu pertimbangan yang memungkinkan paslon mengejar prasyarat ambang batas perolehan suara untuk menutup peluang digugat. Untuk maksud itu dilakukan dengan cara melanggar aturan. Di sinilah sisi menarik dari kemungkinan yang jadi pertimbangan MK untuk melanjutkan pemeriksaan materi gugatan yang tak biasa itu.

Hal yang terpenting dalam sengketa ini, bahwa gugatan terhadap KPU Kab. Bandung. Namun demikian, bisa berimplikasi kepada paslon nomor urut 3. Akankah pasangan Dadang Supriatna – Sahrul Gunawan (tetap) berlanjut diputuskan sebagai Bupati dan Wakil Bupati Bandung terpilih?
Tentu, harus menunggu hasil keputusan MK nanti.

Menarik pula, perlunya analisis mendalam terkait pertimbangan diterimanya materi gugatan oleh MK tadi. Pertimbangan di luar kelaziman, yang tidak berdasarkan ambang batas perolehan suara. Ini point krusialnya.

Penulis sebatas berandai-andai terhadap keputusan pengadilan MK. Andai materi gugatan itu terbukti, maka berkonotasi telah terjadi kecurangan secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Pada gilirannya, pihak penggugat akan menguatkan gugatannya. Sebaliknya, pihak tergugat akan bertahan dan menggugurkan gugatan. Tampak sederhana, meski tak sesederhana.

Merujuk rentetan peristiwa di atas, hal-ikhwal tak terduga mungkin terjadi. Sejumlah literasi menyebutkan, bahwa MK berwewenang mendiskualifikasi paslon. Tentu, bila terbukti secara sah dan meyakinkan.

Giliran, hadirnya pendapat sejumlah pakar hukum terhadap andai terbukti. Menarik untuk menanti keputusan MK, setelah prosedur dan mekanisme. Di antaranya berkoordinasi dengan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu). Terkait kewenangan MK, mekanisme pemungutan suara ulang (PSU) — dimungkinkan adanya. Hanya saja, bila disertai sanksi diskualifikasi — maka PSU dimungkinkan di luar paslon yang didiskualifikasi itu. Mungkinkah pula PSU dilakukan di saat masih pandemi dan konsekuensi biaya tinggi ?! Biaya penyelenggaraan yang bersumber dari APBD setempat, justru pada saat — tidak dimungkinkan pembahasan dan alokasi anggaran untuk itu.

Akhirnya, bahwa Pilkada Kab. Bandung 2020 masih berproses. Semua kandidat paslon masih dalam posisi sebagai paslon. Setara. Selebihnya, kita tunggu hasil akhir sidang MK. *

*) Ketua Komunitas Wartawan Senior (KWS) Jawa Barat.