M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan.(foto ajiesukma/JakSat)

by M Rizal Fadillah

Adalah HRS dan FPI menjadi sasaran fitnah keji. Aksi terorisme “abal-abal” dikaitkan atau dihubungkan dengan FPI dan tentu HRS. Terkesan menutupi kasus pembunuhan 6 anggota Laskar yang tak bisa dihindari mengarah pada kejahatan aparat keamanan. Adapun nama pelaku yang terus disembunyikan menjadi keanehan tersendiri yang membuka peluang bagi rekayasa.

Penangkapan orang “jaringan terorisme” yang dikaitkan dengan mantan atau simpatisan FPI adalah bukti arah fitnah. FPI selama ini tidak pernah dituduh sebagai organisasi teroris. Baik kegiatan maupun ungkapan tokohnya mengecam terorisme. FPI sendiri merupakan organisasi formal dan legal, hanya karena dipersulit pendaftaran, akhirnya dibubarkan. Itupun tanpa perlawanan apalagi kekerasan.

Radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme justru ditujukan kepada umat Islam. Profil “teroris” yang ditampilkan selalu beratribut Islam. Bagi umat Islam ini sangat menyakitkan. Jika itu benar JAD maka bukalah sejelas-jelasnya siapa dan organisasi apa ini. Jangan dipelihara sehingga semua dikait-kaitkan. Bubarkan dan habisi JAD. Yakinkan rakyat bahwa JAD ini bukan organisasi buatan yang dijadikan hantu cantolan terorisme.

Bom yang disebut bunuh diri di Gereja Katedral Makassar itu janggal, betapa bodohnya datang ke Gereja berbusana muslim, bercadar lagi. Begitu juga wanita berbusana muslimah ZA yang mengacungkan senjata air soft gun di Mabes Polri lalu ditembak mati. Komnas HAM perlu turun tangan untuk mengusut siapa yang menembak mati, bukan melumpuhkan. Apakah lawful atau unlawful killing ?

Saat 6 anggota laskar FPI yang dibunuh dan disiksa dijadikan tersangka adalah fitnah keji. Begitu juga peradilan HRS yang didakwa melakukan kerumunan walimahan dan maulidan. Mengapa kerumunan “wedding” Attar Halilintar dan Aurel Hermansyah, puteri Krisdayanti dibolehkan ? Jokowi, Prabowo, Bambang Soesetyo hadir pula. Sungguh ini fakta dari suatu ketidakadilan.

Tontonan ketidakadilan juga diperlihatkan dengan dihentikannya oleh KPK penyidikan koruptor kakap Syamsul Nursalim yang buron. Betapa nyaman menjadi perampok besar di negeri ini, kabur lalu SP3. BLBI adalah perampokan uang akibat Inpres No. 8 tahun 2002 yang diteken Megawati. KPK semestinya tidak menetapkan SP3 kepada penjahat besar Syamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim. Pasal 40 ayat (1) UU KPK hanya merumuskan “dapat”. Tidak adanya kewajiban KPK untuk mengeluarkan SP3. Wajar jika KPK dicurigai bermain-main dalam kasus ini.

Terlalu banyak tampilan ketidakadilan di negeri ini. Rakyat sangat merasakan itu, kekuasaan dan kekayaan yang membenarkan perlakuan berbeda. Asas “equality before the law” dapat dilanggar dengan berbagai alasan. Atau mungkinkah mereka memahami dan bersikap tak peduli pada keadilan mengingat ada adagium hukum “summum ius summa iniuria”–keadilan tertinggi adalah ketidakadilan ? lalu penguasa berhak untuk berbuat tidak adil dengan merasa telah berlaku adil ?

Soal fitnah keji ? Mungkin merasa tidak juga karena di negeri Rusia tahun 2012-2017 pernah sukses mempropagandakan teori semburan fitnah “firehose of falsehood” menebar kebohongan demi mempengaruhi opini publik termasuk media.
Adakah rezim Jokowi sedang mempraktekkan teori semburan fitnah ala Rusia saat ini ?
Sejarah akan berbicara esok.

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Bandung, 5 April 2021