M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan. (Foto Ajie Sukma-JAKSAT)

by M Rizal Fadillah

Gonjang ganjing soal PP No 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan
yang menghilangkan Pancasila dan Bahasa Indonesia dari kurikulum dasar menengah dan tinggi menyengat Menteri Nadiem dan Jokowi. Sejak awal Nadiem memang gagal memimpin Kementrian Pendidikan dengan baik. Inkompeten. Usaha gojek tak bisa ditransformasikan pada dunia akademik berdimensi panjang. Ada ideologi, nasionalisme, dan agama di sana. Ternyata disinilah titik lemahnya.

Presiden Jokowi sejak diramaikan RUU HIP juga mingkem. Padahal dalam RUU ini Pancasila posisinya terancam. Penggerusan dari nilai-nilai Pancasila yang ditetapkan 18 Agustus 1945 mendapat kritik tajam rakyat. Penggantian dengan RUU BPIP belum menjawab keraguan. BPIP sendiri kaget saat diterbitkan PP 57 yang mengeliminir Pancasila tersebut. Di sisi lain RUU BPIP menyimpan misteri yang diduga masih mengandung “hidden agenda”.

Kepekaan ideologis Presiden Jokowi memang lemah. Wajar jika publik ragu dengan pandangan Jokowi tentang penting atau tidak Pancasila. Rezimnya materialistik dan pragmatik. Terlalu berorientasi pada investasi dan hutang luar negeri. Di era pandemi paradigma ini mengalami kemandegan serius. Beban negara sangat berat sehingga dapat membawa Indonesia menjadi negara gagal.

Semestinya di saat genting, Presiden memacu keyakinan ideologis secara lebih terbuka dan partisipatif. Pancasila harus didinamisasi sebagai katalisator berbangsa dan bernegara. Sebenarnya tak perlu diajari lagi soal ini. Namun lagi lagi blunder. Nampaknya kepekaan lemah ini yang menyebabkan sorotan tajam pada produk PP No 57 yang ditandatangani Presiden Jokowi.

Setelah diketahui, barulah ribut soal revisi yang tentu tak bisa sekedar berargumen “salah ketik”, “lupa”, atau “i don’t read what i sign” terhadap sebuah Peraturan sepenting ini. Banyak ahli bergaji besar di lingkaran Presiden. Ataukah istana telah berubah menjadi tempat kongkow-kongkow warung kopi yang tak mampu memproduk kebijakan bermutu dan merakyat ?

Di tengah misi menuju Trisila dan Ekasila Pancasila pun dibenturkan dengan Agama. Rakyat kini semakin waspada. Ada tafsir mendewakan budaya tanpa berbasis moral dan historika. Kasus PP 57 mungkin hanya tes politik saja untuk mengukur reaksi publik. Toh Presiden tetap memegang kendali.

Pak Jokowi pidatolah tentang masih pentingnya Pancasila 18 Agustus 1945, ingatkan rakyat bahwa radikalisme kini adalah sekularisasi, ideologi orde lama, serta komunisme yang terus bergerak dan menyusup. PKI tidak boleh diabaikan. Jangan biarkan mereka mengisi fikiran para buzzer istana.
Kelak Presiden semakin tersandera. Lalu, Pancasila dalam bahaya.

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Bandung, 19 April 2021