OLEH M ARIEF PRANOTO
Catatan Minggu Wage
Falsafah ialah renungan pemikiran berbasis keinginan mencari kebenaran sejati guna memperoleh cara pandang secara terpadu dan menyeluruh, bahwa hakikatnya — semesta ini merupakan tempat manusia hidup dengan segala sebab akibat (hukum causalitas), qisas, stabilizer, hukum karma dan lain-lain.
Sedangkan cita-cita itu produk dari falsafah yang memberikan harapan untuk hidup bersama yang lebih baik, masa depan lebih cerah dst. Termasuk doktrin, ia juga produk dari sebuah falsafah. Dengan kata lain, jika salah satu ciri cita-cita itu melihat jauh ke depan —seperti visi— sedangkan doktrin melihat ke dalam, unsur yang dipakai basis pijakan —semacam SOP— dalam bersikap dan bertindak guna menggapai cita-cita.
Sementara ideologi ialah pengejawantahan cita-cita. Ia merupakan seperangkat nilai yang diyakini kebenarannya lalu digunakan sebagai dasar untuk menata masyarakat yang sudah menegara.
Itulah hierarki serta urutan lazim tentang falsafah – cita-cita (dan doktrin) – serta ideologi. Jangan dibolak-balik baik dalam penulisan maupun pengucapannya.
Pertanyaannya, “Bagaimana dengan Pancasila?”
Nah, kedudukan Pancasila dalam hierarki di atas tergolong unik. Kenapa? Karena selain filosofi bangsa, (cita-cita), juga sekaligus sebagai ideologi negara. Jadi, pada saat mana Pancasila diletak di sebuah teks, misalnya, maka tergantung konteks.
Kita mundur sejenak pada sidang BPUPK (I), 1 Juni 1945.
Bung Karno (BK) bertanya, “Apa dasarnya Indonesia merdeka, atau apa philosohische grondslag dari Indonesia merdeka?”
“Itulah fundamen, filosofi, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat — yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal abadi,” jelas BK dalam sidang BPUPKI.
Philosophische grondslag berasal dari bahasa Belanda, artinya norma (lag) dasar (grands) yang bersifat filsafat.
Tatkala di suatu orde, misalnya, Pancasila diberhalakan sebagai ‘agama’ maka tindakan itu cenderung genit, lebay bahkan nglunjak. Mengapa? Agama itu ajaran langit, sedang Pancasila digali dari bumi (nusantara). Tak bisa disamakan serta tidak untuk dipersamakan.
Akan tetapi, oleh karena sesuatu hal Pancasila digeser menjadi ideologi, secara hakiki — Pancasila terdistorsi, atau turun derajat (lebih rendah) daripada philosophische grondslag. Itulah yang dimaksud dengan frasa ‘tergantung konteks’ di atas. Kenapa demikian, dulu pernah dilakukan — semata-mata untuk mengkontra suburnya komunisme dan kapitalisme di bumi nusantara. Sekali lagi, inilah yang dimaksud frasa tergantung konteks. Saat mana sebagai filosofi —Pancasila— pada saat mana menjadi ideologi.
Hari ini, diskusi publik perihal Pancasila kembali menghangat terutama setelah terbit PP No 57/2021 yang sudah terang-terangan menghilangkan Pancasila dari Standar Nasional Pendidikan (SPN), meski Mendikbud berjanji akan segera memperbaiki karena ada kesalahan.
“Kami di Kemendikbud akan segera mengajukan revisi daripada PP SPN ini terkait substansi kurikulum wajib agar tidak ada mispersepsi lagi,” jelasnya.
“Ini fakta bahwa Kemendikbud tanpa dikawal dan dikoreksi akan jalan terus dalam kesesatan,” kata Muhammad Ramli Rahim, Ketua Umum Jaringan Sekolah Digital Indonesia (16/4/21, SuaraSulsel).
Tampaknya, “dua azimat bangsa” ini —meminjam istilah Pak Prijanto, ex Wagub DKI— hendak ‘dikubur’ dari bumi nusantara. Bagaimana ujudnya?
Pertama, amandemen empat kali UUD 1945 telah merebut kedaulatan dari tangan rakyat (ke genggam partai politik) beserta berbagai implikasi negatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
Kedua, kini Pancasila hendak dihilangkan dari dunia pendidikan nasional melalui PP No 57/2021. Ya. Seandainya tidak ada koreksi dari publik, bisa jadi PP SPN tersebut jalan terus. Dan kini tengah menunggu koreksi. Kemendikbud tengah mengajukan revisi PP No 57/2021.
Publik menunggu hasil revisi.
End__