OLEH HENDRAJIT *)
Ada yang bilang kok testing the water berulangkali. Kok cek-cek ombak berkali-kali. Dari situ saya berani berkesimpulan, tidak mungkin ini testing the water atau cek ombak. Karena seringkali berulang.
Jadi memang desain awalnya ingin seperti itu.
Ini yang saya bilang kemarin, sengaja dibuatnya, tapi nggak sengaja kebukanya.
Mari kita lihat rangkaian cerita ringkasnya, sebelum akhirnya tanpa sengaja kebuka. Memang menurut siaran pers kemendikbud, buku ini baru draf.
Tapi penelisikan selanjutnya membuktikan bahwa buku tersebut sudah ditandatangani Dirjen Kebudayaan, ada ISBN-nya, dan sudah tersimpan di perpustakaan Kemendikbud.
Dari kenyataan ini saja, ini bukan testing the water, tapi memang buah dari perencanaan sejak desain riset dan rangka pemikiran, sampai ke penerbitan. Hanya saja, entah dari mana mulanya, tahu-tahu terungkap.
Selain itu, akibat dari klarifikasi Hilmar Farid selaku Dirjen Kebudayaan yang membawahi direktorat sejarah, memicu saling lempar tanggungjawab antara Dirjen Kebudayan dan mantan menndiknas Muhajir.
Hilmar mengatakan buku ini terbit 2017, berarti secara eksplisit Hilmar mengatakan ini dibuat pada era Mendiknas Muhajir.
Lho, apa bedanya? Bukankah Dirjen kebudayaannya tetap?
Lebih menarik lagi, mantan Mendiknas Muhajir berkilah itu bukan kewenangan menteri, tapi kewenangan direktorat sejarah. Dus artinya, sami mawon. Itu tanggungjawab Dirjen Kebudayaan.
Tapi okelah. Itu kan komplikasi di internal kementerian. Buat saya sebagai peminat sejarah, ada hal yang jauh lebih strategis yang harus diusut.
1. Siapa saja tim penyusun pencatatan sejarah tersebut?
2. Bagaimana mekanisme pembentukan tim kerja penulisan?
3. Metode apa yang digunakan sehingga terjadi kesalahan fatal dalam penulisan sejarah tersebut?
*) Direktur Global Future Institute (GFI) & Wartawan Senior