Ahmad Daryoko/IST

Oleh : Ahmad Daryoko
Koordinator INVEST.

Mengutip ucapan Fraksi PKS pada pemberitaan LawJustice.co 17 April 2021bahwa tarip listrik di Malaysia hanya separoh nya Indonesia. Mengapa bisa demikian ?

Dapat dijelaskan sebagai berikut ;

Ini masalah penerapan System kelistrikan, yaitu ;

DI MALAYSIA

Sampai saat ini tetap diterapkan “Single Buyer System”. Dimana TNB (Tenaga National Berhard) atau PLN nya Malaysia tetap mengkomando System kelistrikan karena ritail tidak dijual ke swasta, shg pengaturan system pemasaran tetap dibawah TNB. Sedangkan disisi pembangkitan sebagian diserahkan ke swasta dalam bentuk IPP (Independent Power Producer) spt Indonesia juga. Artinya TNB menjadi pembeli tunggal (Single Buyer) stroom pembangkit2 itu dan sekaligus menjualnya ke konsumen. Dengan demikian TNB masih memegang komando System kelistrikan yang ada. Dan mampu “mengerem” lonjakan harga.

DI INDONESIA

Sebenarnya Indonesia pun bisa menerapkan “Single Buyer System” seperti Malaysia agar bisa “mendikte” harga pasar listrik. Namun pada 2010 Dahlan Iskan (Dirut PLN) menjual ritail PLN ke swasta, misal ke SCBD (Tommy W) , Meikarta (James Riady),dll dalam bentuk bulk/curah/”Whole sale market” dan yang “recehan” dalam bentuk Token.

Sehingga ketika 90% pembangkitnya sudah dikuasai swasta dan Menteri BUMN melarang pembangkit PLN ber operasi (Tempo 14 Desember 2019, Jawa Pos 16 Mei 2020) maka yang terjadi adalah MBMS (Multy Buyer and Multy Seller ) System. Dimana cara pengadaan stroomnya dilakukan dng tender komponen “C”(bahan bakar). Dan akhirnya karena ritail pun sudah dibeli oleh taipan 9 Naga maka tarip listrik ditentukan oleh Kartel Listrik Swasta (persatuan pengusaha pembangkit swasta dan Ritail swasta). Sehingga Pemerintah tidak bisa intervensi lagi tarip listrik. Yang berlaku Hukum Pasar yang mengikuti kondisi “supply and demand”. Maka wajar Kemenkeu mengumumkan subsidi listrik 2020 sebesar Rp 200,8 triliun (Repelita Online 8 Nopember 2020). Atau 400% saat kelistrikan masih sepenuhnya dikelola PLN yang hanya sekitar Rp 50 triliun per tahun. Dan akibat lebih lanjut PLN tidak bisa membuat Laporan Keuangan seperti biasanya, yang ada hanya Laporan Statistik PLN 2020 (UNAUDITED) yang terbit awal April 2020 kemarin.

KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa Malaysia lebih murah karena System Kelistrikannya “Single Buyer System”.

Sedang Indonesia dua kali lipat Malaysia karena sudah dalam kondisi MBMS (Multy Buyer and Multy Seller) System dimana tarip listrik mengikuti mekanisme pasar bebas yang ditentukan hukum pasar “supply and demand”. Shg Pemerintah tidak bisa apa2 lagi. Kecuali harus keluarkan subsidi ratusan triliun untuk diberikan ke Kartel Liswas, bila listrik ingin dibikin murah !

Ini tidak terlepas dari kepentingan “pragmatis” para “oknum” pejabat spt Luhut BP, JK, Erick T, Dahlan Iskan dll yang melawan putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003 tgl 15 Desember 2004 dan putusan MK No. 111/PUU-XIII/2015 tgl 14 Desember 2020 demi memperkaya diri sendiri !

Bagaimana pak Jokowi, kok diam saja atas kelakuan anak buah bapak ini ?

MAGELANG, 28 APRIL 2021.