M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan. (Foto Ajie Sukma-JAKSAT)

by M Rizal Fadillah

Masalah promosi Babi Panggang bagi menu mudik Iedul Fitri bukan masalah yang cepat usai, akan terus berkelanjutan. Babi Panggang jelas haramnya bagi umat Islam sehingga ini menjadi persoalan yang sangat sensitif. Stempel kepada Presiden Jokowi akan menempel terus sebagai orang Islam yang abai dengan perasaan kaum muslimin Indonesia.

Pernyataan permohonan maaf dari Mendag Lutfi tentu tidak cukup, sebab yang berpidato nya adalah Presiden Jokowi, bukan Mendag. Publik tidak tahu itu disain Kemendag. Demikian juga “ngeles” Jubir Fadjroel bahwa Bipang adalah Jipang penganan beras ketan dinilai mengada ada dan di luar kontek. Bipang Ambawang hanya satu tafsir yaitu Babi Panggang. “Ngeles” Ngabalin bahwa benar itu Babi Panggang hanya Jokowi sedang mempromosikan kuliner tradisional tentu mudah dibantah. Yang dipidatokan Presiden itu soal mudik lebaran dan ini adalah tradisi kaum Muslimin Indonesia bersilaturahmi dengan keluarga. Iedul Fitri.

Jadi pilihan penyelesaian “insiden” Bipang Ambawang oleh Presiden Jokowi hanya dua yaitu :

Pertama, meminta maaf dengan serius atas salah ucap, salah baca, atau salah skenario pidato penegasan larangan mudik dengan rindu kuliner memasukkan Babi Panggang Ambawang menjadi menu oleh-oleh atau makanan Iedul Fitri. Meminta maaf adalah budaya politik luhur atas pengakuan kesalahan.

Kedua, jika diam saja, maka artinya membenarkan maksud promosi Babi Panggang Ambawang untuk kuliner menu mudik Iedul Fitri. Ini sudah masuk area penistaan atau penodaan agama. Jangankan sengaja, bermain-main seperti Arswendo Atmowiloto soal Nabi Muhammad SAW saja kena Pasal 156 a KUHP. Demikian juga “salah ucap” Ahok soal Qur’an Al Maidah mendapat sanksi pidana. Presiden Jokowi sangat mungkin secara hukum dipidana dengan ancaman sebagaimana Pasal 156a KUHP yaitu 5 tahun penjara.

Atas dua pilihan tersebut di atas tentu semestinya Presiden Jokowi mengambil pilihan yang pertama, meskipun semua tahu bahwa permintaan maaf tidak menghapus ancaman delik perbuatan pidananya. Asumsi nya adalah bahwa umat Islam sedang dan masih melaksanakan ibadah shaum di bulan Ramadhan sehingga umat lapang dada untuk dapat memaafkan.

Bila bandel, apa boleh buat tekanan politik umat Islam bukan mustahil akan terus mempermasalahkan penodaan agama ini. Artinya proses hukum akan ditempuh dan ini tentu sangat merugikan Presiden Jokowi sendiri yang dipastikan akan menambah predikat “melakukan perbuatan tercela” yang menurut UUD 1945 dapat menjadi dasar untuk mundur atau dimundurkan.

Ataukah Presiden tak peduli apapun dengan ungkapan “bukan urusan saya” ? Jika ini sikapnya maka konsekuensi bagi rakyat pun menjadi tak peduli lagi dengan alasan apapun bahwa Jokowi adalah seorang Presiden. Bagaimana rakyat harus menghargai Presiden, jika seorang Presiden tidak menghargai rakyatnya, khususnya umat yang beragama Islam.
Dan umat ini adalah mayoritas !

*) Pemerhati Politik dan Keagamaan

Bandung, 10 Mei 2021