ilustrasi

JAKARTASATU.COM – Pemerintah lewat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPn) tahun depan, dari 10% menjadi 15% sesuai batas maksimum yang tertulis dalam UU PPn. Rencana ini sedang digodok untuk kemudian mendapat persetujuan DPR RI.

Dalam perkembangan terakhir, DPR tampak memberi sinyalemen menyetujui rencana ini. Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah kepada wartawan menyebut, “Dalam rangka menggulirkan demand yang lebih tinggi, mau tidak mau, dan menjaga fiskal kita, pemerintah menurut hemat saya layaknya menaikkan PPn,” katanya pada Kamis (20/5/2021).

Namun rencana itu menuai banyak penolakan. Ketua Departemen Ekonomi & Pembangunan, Bidang Ekonomi & Keuangan (EKUIN) DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Farouk Abdullah Alwyni, mengatakan bahwa menaikan tarif PPn merupakan langkah yang terlalu simplistis. Menurutnya, tidak bisa serta merta PPn dinaikkan tanpa evaluasi menyeluruh terlebih dahulu.

“Realisasi penerimaan pajak 2020 adalah Rp1.070 triliun, atau 89,3% dari outlook akhir tahun. Ada shortfall mencapai Rp128,8 triliun. Perlu dievaluasi apakah itu disebabkan target pemerintah yang tidak realistis, sistim perpajakan kita yang tidak kompetitif, ada kebocoran-kebocoran atau hal-hal lainnya,” katanya melalui keterangan tertulis, Kamis (27/5/2021).

Seperti diketahui, PPn merupakan pajak yang dipungut negara dalam transaksi jual-beli barang atau jasa wajib pajak orang pribadi maupun badan usaha yang berstatus pengusaha kena pajak (PKP). Niatan pemerintah menaikkan PPn ini tak lepas dari realisasi penerimaan pajak yang pada 2020 mengalami kontraksi 19,7% dibandingkan tahun sebelumnya.

Jika kenaikan PPn disetujui DPR, PKS menilai justru itu akan menyulitkan masyarakat. Kelompok menengah ke bawah yang merupakan mayoritas di negeri ini akan terpukul paling keras.

“Yang paling penting adalah memikirkan daya beli masyarakat menengah ke bawah. Bagaimanapun PPn akan berpengaruh pada harga akhir di tangan konsumen. Baik itu konsumen kaya atau miskin, masing-masing perlu menambah biaya dari semula 10% menjadi 15% dari total belanja,” kata Farouk Alwyni.

Maka yang akan terjadi adalah, menurut Farouk, masyarakat kelas atas akan cenderung menahan belanja. Sementara di sisi lain ekonomi masyarakat miskin makin tertekan, apalagi hingga saat ini banyak dari mereka belum terkover bantuan sosial program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Masih ditemukan masalah bansos salah sasaran akibat pendataan, mekanisme penyaluran, pengawasan yang cenderung lemah, dan persoalan korupsi bombastis yang bahkan melibatkan Kementerian Sosial-nya sendiri.

Praktis, rencana menaikkan PPn hanya akan memperburuk ekonomi secara keseluruhan.
“Pemerintah baiknya tidak hanya memikirkan perbaikan isi kantongnya sendiri, melainkan juga kemampuan kantong masyarakat terutama kelompok menengah ke bawah. Peningkatan tarif PPn yang hanya akan memberikan beban lebih kepada masyarakat yang masuk dalam kategori ini,” kata Farouk Alwyni.

Menurut Farouk, secara umum tarif pajak yang tinggi justru dapat berpotensi menurunkan kepatuhan dari wajib pajak. “Ada kekhawatiran pula bahwa wajib pajak akan berkolusi dengan petugas pajak untuk menurunkan beban pajaknya. Apalagi terlepas dari tinggi atau tidaknya beban pajak, masih ada persoalan integritas petugas pajak dan pengusaha kakap yang selalu ingin mengurangi beban pajaknya, yang menyebabkan terjadinya praktik kolusi dan korupsi antara dua kepentingan tersebut,” pungkas Farouk Alwyni. [REZ-JAKSAT]