Gedung KPK/JAKSAT

JAKARTASATU.COM – Dalam webinar Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Constitutional and Administrative Law Society (CALS) yang bertema “INTEGRITAS, PELEMAHAN KPK DAN NEGARA HUKUM INDONESIA”  sang moderator Milda Istiqomah, Peneliti LP3ES dan  juga Dosen FH Universitas Brawijaya membuka diskusi dengan menyebutkan terjadinya pelemahan KPK yang digambarkan berada di ujung tanduk.

“Pelemahan pemberantasan korupsi terjadi beruntun dan sistematik. Revisi UU KPK, pemililihan pimpinan KPK bermasalah, test wawasan kebangsaan yang justru melecehkan perempuan dan nilai luhur kebangsaan, apalagi diniatkan menyingkirkan pegawai berintegritas. Kebohongan dipertontonkan terbuka, tanpa malu dan ragu,” jelasnya pada Diksusi yang berlangsung Selasa, 1 Juni 2021 ini

Milda juga menjelaskan bahwa manipulasi atas hukum diperlihatkan. Ironi di tengah merosotnya demokrasi, kembali kita mempertanyakan bagaimana seharusnya membangun integritas, memaknai kebangsaan, menjaga nalar publik, menyelamatkan KPK dan agenda pemberantasan korupsi dalam Negara Hukum Indonesia?

“Mengapa kekuasaan berlindung dibalik formalisme hukum, gencar stigma ‘radikalisme’, dan kian permisif atas perilaku nir-integritas? Bukankah, pelemahan KPK ini justru memperburuk masa depan bangsa dan peradaban kemanusiaan?” tanyanya.

Dan pengantar diskusi dari Herlambang P. Wiratraman, Peneliti LP3ES dan Dosen FH UNAIR juga menarik yang mengatakan bahwa kasus pemecatan 75 pegawai KPK bukan pada soal lulus test atau tidak, tetapi pelaksanaan Test Wawasan Kebangsaan (TWK) itu sendiri sedari awal sudah menjadi persoalan yang harus dicermati. Persoalan sebenarnya adalah menyangkut desain politik hukum di Indonesia terhadap proses pelemahan lembaga anti rasuah seperti KPK. “Fakta sesungguhnya desain politik hukum yang terjadi bukanlah desain penguatan lembaga KPK, namun telah terjadi proses pelemahan KPK secara sistematis,” ungkapnya

Herlambang menambahkan bahwa isu yang harus dicermati bukan melulu pada test TWK, namun terjadinya pertaruhan integritas dan pelemahan sendi-sendi negara hukum. Fakta-fakta pelemahan sendi-sendi hukum terasa semakin menguat di masa pemerintahan Jokowi.

“Akibatnya terjadi serangan balik kepada KPK ketika KPK menangani kasus-kasus besar dan mempunyai konteks ekonomi politik yang kuat. Pelemahan kepada KPK adalah penanda serius dari terjadinya pelemahan KPK dan sendi negara hukum,” ungkapnya.

Publik lanjut Herlambang, saat ini bertanya-tanya mengapa pimpinan KPK sampai begitu beraninya melawan perintah Presiden RI dan kepala negara terkesan mendiamkan. Ataukah, persoalannya memang terletak pada integritas kepala negara padahal presiden mempunyai wewenang konstitusional untuk tegaknya hukum dan keadilan. Sayangnya, hal itu tidak cukup dilakukan.

“Menjadi pertanyaan, apakah yang dirusak adalah integritas ihwal kepemimpinan ataukah sistem politik hukum ketatanegaraan yang rusak terlebih dulu. Terjadi penegasan pada karakter liberal demokrasi, atau terjadinya democracy setback dan seterusnya. Segala kekisruhan itu adalah penanda paling serius dari terjadinya kemunduran demokrasi dan kemerosotan luar biasa dari kebebasan sipil, terjadinya pembodohan versus kecerdasan dan pejuangan akal sehat. Penolakan publik terhadap pemecatan 75 pegawai KPK adalah perjuangan akal sehat nalar publik melawan tindakan pembodohan yang dilakukan oleh aktor-aktor yang mengatasnamakan negara, atau formalisme birokrasi versus diskursus penegakan hukum,” paparnya.

Novariza, Pegawai KPK yang juga mengatakan bahwa pegawai KPK yang masuk dalam daftar pegawai yang tidak lulus TWK menyatakan bahwa TWK adalah keinginan dari pimpinan KPK Firli Bahuri. “Padahal tidak ada aturan di atasnya (UU KPK 2019) yang bisa dijadikan acuan dalam pelaksanaan TWK. Test TWK tersebut tanpa melibatkan pegawai KPK dan tidak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan Test Wawasan Kebangsaan. Test tersebut rupanya mengikuti model Indeks Moderasi Bernegara (IMB) milik insitusi militer yang setelah disearch di google pun tidak ditemukan. Ketika pegawai lebih serius mempertanyakan kepada pimpinan KPK, dijawab dengan seolah-olah TWK adalah test formalitas belaka, dan pegawai tidak perlu khawatir karena tidak ada konsekwensi lulus atau tidak lulus,” ungkap Novariza.

Terjadi pelanggaran HAM, pelecehan keyakinan beragama pegawai, terjadi pelecehan wanita dan lelaki dalam test-test tulis, terlebih saat test wawancara kepada setiap peserta test. Pertanyaan tidak ada relevansi dengan tugas-tugas pemberantasan korupsi dan wawasan kebangsaan, juga terasa aneh, karena muncul pertanyaan seputar LGBT, DI/TII dan lain-lain. Asesorpun tidak menjelaskan apa tujuan TWK, dan juga tidak jelas indikator penilaian antara asesor satu dengan asesor lainnya. Namun yang jelas, sesungguhnya belum ada tools yang dapat digunakan untuk tujuan menyeleksi alih status pegawai yang telah puluah tahun bekerja di KPK menjadi ASN,terangnya.

Perkara pemecatan pegawai KPK bukan terletak pada jumlah pegawai KPK yang mencapai 1000 orang lebih, tetapi 75 pegawai yang disebutkan tidak lolos seleksi TWK jelas-jelas adalah mereka yang tengah bertugas memeriksa kasus-kasus korupsi besar di Indonesia seperi Kasus Bansos, Kasus Harun Masiku, Kasus Tanjung Balai dan beberapa kasus lagi. Kasus Bansos saja diketahui baru memasuki pemeriksaan penyidikan untuk 300 ribu paket bansos. Padahal paket Bansos yang diperiksa mencapai jumlah lebih dari 1 juta paket yang jika dikembangkan kasusnya akan mengalir kemana-mana. “Pemecatan terhadap pegawai KPK yang tengah memeriksa kasus korupsi besar pasti akan menghambat penanganan kasus berikutnya,” tegasnya.

Sementara itu Asfinawati, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan bahwa rencana pelemahan KPK telah didengar secara informal oleh para pegiat HAM dan demokrasi sejak 2019. “Disinyalir akan ada langkah penyingkiran terhadap pada pegawai kritis KPK dengan pelaksanaan test tertentu disertai stigma Taliban, dan lain-lain. Itu artinya, sejak 2019 rencana pelemahan KPK sudah mulai disusun,” ungkapnya

Proses pelemahan KPK sebagai ujung tombak perang terhadap korupsi saat ini, sesungguhnya adalah bagian tak terpisahkan dari agenda pelemahan KPK sejak era cicak vs buaya (cicak vs buaya ke 4). Proses yang berurutan terjadi sejak peristiwa Hak Angket terhadap KPK oleh DPR, Pansel KPK yang dimasalahkan publik dan pegawai KPK sendiri karena bermasalah ihwal rekam jejak Firli Bahuri, dan adanya 56 anggota komisi 3 DPR RI yang setuju dengan Firli Bahuri. Revisi UU KPK pada 2019 adalah langkah pelemahan yang lebih jauh, yang kini bermuara pada pelaksaan Test Wawasan Kebangsaan (TWK) yang nyata-nyata tidak tercantum dalam revisi UU KPK dan Perppu No 41/2020, tambahnya.

Dikatakan Asfinawati bahwa Pidato Presiden Jokowi yang meminta 75 orang pegawai KPK tidak diberhentikan memunculkan framing dari mantan anggota pansel KPK bahwa Jokowi inkonsisten dengan revisi UU KPK. Framing tersebu sebenarnya ditujukan untuk menyetir kepala negara dan nalar publik bahwa TWK telah sesuai dengan revisi UU KPK. Juga, untuk menyetujui langkah penyingkiran terhadap 75 orang pegawai kritis KPK. “Disinyalir kemudian jejaring aktor mantan pansel tersebut adalah dari kelompok yang sama dengan sebagai pendukung Firli Bahuri dan merupakan bagian dari “sesi drama” cicak vs buaya 1 sd 4.”bebernya.

Pelaksanaan test TWK KPK kata Asfinawati adalah pola yang amat berbahaya bagi kehidupan demokrasi dan kebebasan sipil serta perang terhadap korupsi, karena memunculkan stigmatisasi yang mirip dengan LITSUS di masa orde baru. Litsus adalah skenario mengerikan karena berjalan tanpa adanya proses pembelaan dari yang terkena Litsus. Hal itu harus ditolak sekerasnya, karena kalau proses penyingkiran 75 pegawai KPK dilakukan, jelas menjadikan demokrasi di Indonesia berjalan semakin mundur.

“Jika pemerintah atau Presiden Jokowi tidak melakukan apa-apa bahkan mendiamkan saja dengan apa yang terjadi di KPK saat ini, maka presiden bisa dianggap merestui terjadinya pengabaian dan pelanggaran HAM. Presiden bisa dianggap kalah pengaruh dengan para pimpinan KPK. Padahal, presiden sebagai pemegang wewenang tertinggi KPK sesuai UU KPK yang baru, dapat mengambil alih delegasi wewenang telah diberian kepada pimpinan KPK,” ungkapnya.

Penolakan terhadap perlakuan tidak fair terhadap 75 pegawai KPK adalah dalam rangka menyelamatkan nalar publik. Seberapa jauh publik akal sehat mau menuruti keinginan para buzzer dan influencer yang digerakkan oleh kepentingan kakak Pembina atau kelompok kepentingan lain. Yang dipertatuhkan saat ini adalah kelanjutan dari agenda pemberantasan korupsi setelah KPK mampu menjerat para pelaku korupsi kelas berat yang ada di berbagi institusi negara legislatif, yudikatif dan eksekutif.

“Ini juga adalah ujian berat bagi demokrasi Indonesia apakah akan kembali ke era orba dengan rangkaian “Litsus” yang bisa jadi akan diberlakukan ke semua tempat, dan tiba-tiba kita telah kembali ke masa sebelum 1998,”tegasnya.

Hal yang menarik juga dikatakan Karlina Supelli, Dosen Sekolah Tigggi Filsafat Driyarkara bahwa terjadinya gejala kemunduran demokrasi di Indonesia, telah diintrodusir oleh para ilmuwan sosial politik global, yang juga menjelaskan bahwa di masa sekarang, terjadi pergeseran metode penghancuran demokrasi yang tidak lagi melalui kudeta tengah malam, tetapi dengan mengikis secara perlahan demokrasi dengan menggunakan selubung legal formal.

“Dengan menerbitkan Undang-undang dan tidak mudah dikenali publik bahwa telah terjadi pelemahan demokrasi. Meitzner menyebutkan istilah inovasi otoritarian yang terjadi di Indonesia, dengan gejala pelemahan demokrasi tanpa menghancurkan demokrasi secara keseluruhan, tetapi dilakukan dengan nominal, dipermukaan, namun institusi-intitusi pendukung demokrasi digerogoti secara perlahan, salah satunya adalah KPK,” jelasnya.

Karlina menyebut bahawa terjadi tiga pola strategi pelemahan dengan cara Pertama, Adanya pelemahan civil society melalui polarisasi politik identitas, agama, dan lain-lain, sehingga masyarakat sipil terbelah.

“Warga yang membela KPK dituding sebagai pembela Taliban, ini merusak nalar publik seolah tindakan pemecatan 75 pegawai KPK adalah langkah yang benar, dibenturkan dengan isu-isu NKRI, Pancasila, atau terjadi penyingkiran masyarakat sipil, dimana pihak kritis disingkirkan dengan diberi labelisasi tertentu sebagai musuh, yang berkibat pada pembatasan hak hal sipil. Hal itu terjadi juga dengan pembubaran ormas tanpa mekanisme pengadilan,” ungkapnya.

Kedua, Terjadi pelemahan terhadap media, kebebasan media, dan ancaman terhadap jurnalis dan situs media. Ketiga, Terjadi pelemahan institusi, integritas institusi dan integritas publik. Padahal, adanya institusi adalah karena adanya hak dasar sebagai manusia. Kualitas hidup warga sangat bergantung pada pelayanan institusi yang melaksanakan tugas pelayanan masyarakat.

Integritas institusi seperti KPK harus tetap utuh. Tidak tercemar, tidak busuk dan tidak dilanggar oleh kepentingan yang melemahkan misi pemberantasan korupsi sebagai tugas mulia menyelamatkan nalar publik dari para pelaku korupsi. Kinerja institusi seperti KPK dipertahankan dengan sejauh mana institusi KPK secara optimum mewujudkan tujuan institusi itu. Integritas KPK terletak pada kepenuhan independensi yang memungkinkan KPK melaksanakan tugas penanganan kasus-kasus korupsi secara optimal.

“Bangsa ini memerlukan visi etis dalam pemberantasan korupsi, dan hukum seharusnya merujuk pada visi etis tersebut,” pungkasnya. | aen/JAKSAT