M Rizal Fadillah /Foto by AME Jaksat

by M Rizal Fadillah

Tentu bukan bermakna karena periode sampai tahun 2024 maka selesai masa jabatan Jokowi. Sesuai aturan UUD 1945 memang masa jabatan Presiden hanya dua periode. Akan tetapi yang menjadi ulasan disini ni adalah bahwa pengaruh kekuasaan Jokowi akan tamat. Tak ada pelanjut, tak ada protektor dan tak ada lagi ceritra tentang “kejayaan” Jokowi esok. Jokowi benar-benar tamat. Bahkan bukan mustahil akan masuk fase bongkar bongkar “dosa” Jokowi dan eksekusinya.

Partai politik tetap menjadi penentu dalam proses politik. Karenanya konstelasi politik ditentukan oleh dinamika partai politik dalam memainkan ritme kelanjutan penokohan termasuk figur Presiden. Tanpa akses kepada partai politik, maka semua akan selesai. Titik lemah Jokowi adalah bahwa dirinya bukan siapa-siapa baik jabatan maupun peran dalam partai politik. Jokowi hanya figur yang dibutuhkan sesaat. Sebagai cantolan dari banyak kepentingan.

Persiapan Pilpres 2024 menjadi landasan pembentukan figur politik ke depan. PDIP memiliki figur trah Soekarno yang terus digelindingkan yakni Puan Maharani. Ganjar yang mencoba mengangkat diri ternyata di “buldozer”. Gerindra masih mendorong figur Prabowo untuk Capres. Sementara Golkar sang Ketum Airlangga dipastikan untuk diusung oleh partainya. Demokrat ada AHY yang serius dipasarkan.

PKS dan Nasdem mendekap Capres kuat Anies Baswedan. Sementara PPP, PKB, dan PAN tidak memiliki calon sendiri. Posisinya lebih pada mendukung figur figur yang kelak manggung. Kalkulatif dan mungkin pragmatik. Jika berubah menjadi sedikit ideologis bisa saja ketiga partai itu mencari figur alternatif seperti Rizal Ramli atau Gatot Nurmantyo meskipun untuk hal ini probabilitasnya tidak terlalu besar.

Bagaimana nasib Jokowi ? Gawat, dipastikan akan ditinggalkan oleh partai partai politik koalisi. Partai bercerai berai dalam polarisasinya masing-masing. Jokowi sudah tidak menjadi magnet. Taipan yang sekarang menempel erat, esok dalam kompetisi 2024 tidak berkepentingan lagi dengan Jokowi. Mereka berkalkulasi baru dengan partai atau figur baru yang potensial bertarung.

Melihat paket yang mulai ramai seperti Prabowo-Puan, Anies-AHY, Anies-Airlangga atau Rizal Ramli-Gatot Nurmantyo tidak terlihat figur yang menjadi “kepanjangan tangan” Jokowi. Upaya untuk mempercepat penokohan Gibran dinilai terlalu berat. Demikian juga survey yang mulai memunculkan Iriana, istri Presiden masih ditertawakan publik.

Kader PDIP Ganjar Pranowo yang popularitasnya terus meningkat layak untuk didekati Jokowi. Namun kedekatan tanpa komunikasi dan restu PDIP juga dapat menjadi malapetaka. Hubungan Jokowi dan PDIP semakin tidak harmonis. Ganjar pun terancam aksi pengasingan dari partai tempat dimana ia bernaung dan dibesarkan.

Lonceng kematian Jokowi di 2024 sudah mulai berbunyi. Hanya satu yang bisa menyelamatkannya yaitu perpanjangan jabatan tiga periode. Artinya harus melakukan amandemen atas Konstitusi. Persoalannya adalah bahwa perpanjangan tiga periode itu bertentangan dengan perasaan keadilan rakyat yang sudah tidak puas dengan Presiden yang terlalu berlama-lama melakukan korupsi kekuasaan, hukum dan mungkin, kekayaan.

Lalu bagaimana dengan kepentingan global terhadap Jokowi ? Dari sisi Amerika dan sekutunya Presiden saat ini dinilai bukan sahabat karib karena lebih dekat kepada China pesaing berat Amerika. Ancaman komunisme menjadi catatan negara-negara Barat. Sementara China menilai Jokowi sebagai figur yang lemah dengan daya dukung artifisial dari rakyatnya sendiri. Investasi dan hutang luar negeri yang digelontorkan tidak aman. Tenaga kerjanya terus disorot serta hutangnya seret pembayaran. Pertumbuhan ekonomi di bawah Jokowi ambrol. China akan mencari figur lain.

Sulit berlanjut kekuasaan dan pengaruh pasca 2024, bahkan pengamat ada yang menilai sulit juga Jokowi bertahan hingga 2024. Saat ini pun kedudukannya mulai digoyah. Penanganan pandemi, korupsi, diskriminasi hukum, krisis ekonomi, pembungkaman oposisi, serta lumpuhnya demokrasi menjadi persoalan serius. Desakan mundur meski belum terlalu masif tetapi mulai muncul. Melalui gugatan hukum pula.

Jokowi akan tamat dengan meninggalkan dosa politik yang mungkin akan menjadi beban atas dirinya. Hutang negara yang besar bukannya tanpa tuntutan pertanggungan jawab, pelanggaran HAM berat baik kasus 21-22 Mei 2019 maupun pembunuhan 6 anggota laskar FPI 7 Desember 2020 tidak mungkin terlupakan, Perppu otoritarian akan diotak-atik kembali termasuk fatalnya kebijakan soal Omnibus Law. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menarik untuk dibongkar-bongkar. Tanpa proteksi kekuasaan lagi. 

2024 tahun tamatnya Jokowi dengan belang-belang yang ditinggalkan. Solusi pengamanan memang hanya dua. Pertama, perpanjangan tiga periode atau kedua,  mundur sebelum tahun 2024 dengan permohonan maaf serius.  Tutup buku dengan pemaafan rakyat dan bangsa Indonesia. Biar rakyat dengan pemimpin barunya menata dan menyembuhkan penyakit yang ada dan sangat kronis ini.
Pilihan mana yang akan diambil ? Entahlah.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 2 Juni 2021