JAKARTASATU.COM – Sidang Jumhur Hidayat kembali digelar pada Kamis, 3 Juni 20212 kasus pidana Jumhur yang dipermasalahkan dalam penyebaran berita bohong atau hoaks itu menghadirkan pengamat ekonomi Faisal Basri yang dihadirkan kuasa hukum terdakwa sebagai saksi ahli.

Dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Agus Widodo, Faisal Basri menerangkan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja, yang dikritik oleh Jumhur lewat media sosial Twitter memuat sejumlah masalah.

Menurut Faisal tentang dampak yang akan terjadi bersifat serius jika UU Omnibus Law ini lakakukan yaitu salah satunya dampak yang jika dibiarkan akan berbahaya. Seperti akibat pandemic, bagi kelas menengah kebawah mereka mengalami penurunan karena mereka tidak bisa menjual produknya di e-commerce karena koneksi mereka yg tidak memadai.

“Yang menyebabkan bagi orang awam akan lebih mendapatkan kesulitan pada kesenjangan ekonominya. sedangkan kelas menengah atas merka mengalami pemulihan yang cepat dikarenakan mereka memiliki koneksi yang luas dibandingkan kelas menengah kebawah” ujar Faisal Basri saat persidangan di pengadilan negeri Jakarta Selatan.

Masih kata Faisal banyak investor China yang mendatangkan “pekerja kasar” bukannya tenaga ahli dengan harga yang murah. “Visa yang mereka gunakan Visa kunjungan dan juga mereka tidak bayar pajak dan harusnya pekerja asing yang resmi harusnya bayar 100 Dollar per orang”

“Indonesia merupakan penerima investasi tertinggi di Asean namun investasi itu dianggap tidak jalan disebabkan karena pengusaha takut dipenjara karena korupsi. Yang dijadikan keluhan dengan pengusaha yaitu aturan ketenaga kerjaan yang menghambat seperti, banyaknya yang di phk, pesangon yang tidak di gaji, pasar tenaga kerja fleksibel dll. Selain itu, daerah dianggap sebagai penghambat investasi, padahal dimata pengusaha berdasarkan survei, yang membuat mereka tidak berkembang adalah pada bagian produksi bukan tenaga kerja. Hal ini yang disebabkan seolah-olah undang-undang cipta kerja yang sengaja diatur hanya untuk melakukan beberapa kemudahan pengusaha untuk jadi lebih sukses,” paparnya.

Pada permasalahan bahwa Indonesia yang mudah sekali di perbudak ekonomi dikarenakan seperti contoh studi kasus yang satu ini yaitu, warga Indonesia mengelola nikel, akan tetapi biji nikel tersebut dilarang dijual di perusahaan dalam negri. Jadi mau tidak mau mereka menjualnya ke perusahaan smelter Cina dengan harga yang sudah terinjak-injak. Setelah itu nikel diolah menjadi stainless steel (besi anti karat) yang di ekspor ke china untuk dijadikan sendok, garpu, pisau, dll. Kemudian di ekspor kembali ke Indonesia untuk di perjual belikan. Hal ini yang membuktikan bahwa Indonesia mudah sekali untuk di perbudak/diperalat oleh orang luar.

“Indonesia mempunyai cadangan nikel yang mungkin terbesar di dunia dan nike dapat menjadi sumber pemasukan Indonesia kedepannya karena bisa menjadi bahan bakar mobil listrik,” beber Faisal.

Menurut Faisal Basri juga menambahkan bahwa Omnibus Law tidak mempedulikan lingkungan dengan mengurangkan kegunaan AMDAL dan batu bara tidak dianggap menjadi B3 (Beracun). “Hak normatif pekerja juga dihilangkan, standar-standar lingkungan juga dilonggarkan dalam Omnibus Law, soal Amdal tidak perlu lagi melibatkan masyarakat sipil, civil society, kemudian merembet ke aturan-aturan turunannya. Misalnya, limbah batu bara tidak masuk lagi dalam kategori B3 atau limbah berbahaya,” jelas Faisal Basri.

| Laporan Fabil & Afifah -interstudi,mgm Foto-foto Fabil & Afifah /JAKSAT