JAKARTASATU.COM – Negara dalam bahaya saat dimana korupsi makin merajalela dan sistemik. Demikian disampaikan oleh Profesor sampai Jurnalis Sosmed dalam Zoominari Kebijakan Publik yang diselenggarakan oleh Narasi Institute.
Prof Didin S Damanhuri Guru Besar IPB mengatakan adanya narasi KPK menghambat pembangunan adalah salah bacaan. Apa yang terjadi saat ini dalam bentuk 75 pegawai KPK tidak lulus TWK adalah fenomena koruptor fight back.
“Fenomena aneh atas 75 pegawai KPK tidak lulus TWK adalah Fenomena Koruptor Fight Back”. Ujar Prof Didin S Damanhuri Guru Besar Ekonomi IPB.
Prof Didin S Damanhuri mengatakan bangsa Indonesia sudah kehilangan ruh reformasinya dan perlu suara perubahan.
“Ruh reformasi dimana KPK sebagai salah satu pilarnya mengalami loss (hilang) sejak adanya UU KPK yang Baru”. Ujar Prof Didin S Damanhuri
Prof Didin S Damanhuri mengajak elit penguasa untuk kontemplasi diri karena korupsi telah menyita kesejahteraan bangsa ini.
“Indeks anti korupsi paling tinggi diperoleh negara Skandinavia dan kita dapat menyaksikan negara tersebut menikmati ekonomi yang lebih sejahtera, pendapatan perkapita yang lebih tinggi.” Ujar Prof Didin
Abdullah Hehamahua Pegiat anti Korupsi mengatakan tes TWK terhadap pegawai KPK sengaja dilakukan agar pegawai yang bersih dan kredibel tidak diloloskan sebagai pegawai organik KPK. Abdullah Hehamahua menyatakan hal tersebut disebabkan adanya elit penguasa yang dendam dengan 75 pegawai KPK.
“Ada dendam 7 turunan dari Firli Ketua KPK dan Budi Gunawan Ketua BIN terhadap 75 pegawai KPK tersebut, sehingga mereka menjadi tidak lulus tes TWK” Ujar Abdullah Hehamahua.
Hersubeno Arief Pengiat Jurnalis sosmed dan Media mengatakan isu taliban terhadap 75 pegawai KPK adalah framing penguasa terhadap mereka yang tidak bisa bekerjasama dengan penguasa.
“Framing radikal tidak hanya distigmakan kepada pegawai 75 KPk namun juga dibuat stigma terhadap lawan-lawan politik pemerintah khususnya umat islam” Ujar Hersubeno Arief, Pengiat Sosial Media dan Jurnalis.
Taufik Bahaudin Direktur Center Pengembangan Talenta dan Brainware Universitas Indonesia mengatakan bahwa pelemahan KPK lewat tes TWK disebabkan cara berfikir elit politik yang transaksional.
“Sifat transaksional para pejabat dalam memperoleh kekuasaan menyebabkan pejabat Indonesia hari ini jadi tidak jujur dan cenderung koruptif.” Ujar Taufik Bahaudin
Taufik Bahaudin mengatakan budaya transaksional tersebut dapat diubah dimulai dari transformasi mindset di level kepemimpinan nasional.
“Apakah kita bisa berubah dari level korupsi yang menggurita sekaranga ini? bisa asalkan harus dimulai dari level kepemimpinan nasional. Leadership kepemimpinan harus memulai melalukan transformasi budaya” Ujar Taufik Bahaudin yang juga aktivis UI
Ekonom Achmad Nur Hidayat menyatakan bila KPK tidak bermanfaat lagi bagi penegakan kejujuran dan pemberantas korupsi di Indonesia sebaiknya KPK tidak perlu diberikan angagran tambahan di 2022.
“KPK meminta dana tambahan Rp403 miliar untuk 2020 sehingga menjadi Rp 1,49 triliun dari Rp1,15 triliun 2021 dan DPR seharusnya jangan serta merta memenuhinya harus ada target pemberantasan korupsi yang jelas dan kepastian penyerapannya” Ujar ANH
ANH berpendapat bila KPK tidak bisa memberi kepastian korupsi diberantas maka sebaiknya KPK tidak perlu diberi tambahan. Lebih baik dana yang ada diberikan ke sektor yang dapat mempercepat pemulihan ekonomi tinggi.
“Indonesia butuh pemulihan ekonomi, daya serap yang rendah dapat menghambat pemulihan ekonomi. KPK harus beri kepastian tambahan anggaran 2022 akan diserap dan Konflik KPK harus diakhiri” Ujar Achmad Nur Hidayat. | JAN-JAKSAT