JAKARTASATU.COM – Saat ini bangsa kita seang menurun demokrasi. Namun malah peningkatan korupsi yang akhirnya  menjadi ancaman untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia itu sendiri.

“Penurunan demokrasi ini pun juga memiliki sebab tidak lain yaitu terdapatnya over action dari aparat keamanan untuk para aparat/birokrasi untuk naik jabatan tertentu dengan indikasi tewasnya relawan FPI unlawful killing dan penangkapan aktivis oleh polisi karena postingan di sosial media,” ujar Fadhil Hasan, Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF),Rabu (8/6/2021).

Fadhil juga meyakini bahwa Indonesia bakal mengalami kekacauan ekonomi, politik, dan sosial-budaya di masa depan jika kekuasaan terus melanggengkan pemberangusan terhadap kebebasan masyarakat sipil.

“Kalau yang terjadi adalah bagaimana oligarki itu mempertahankan kekuasannya, kita ini akan mengarah kepada failed state, sebuah negara yang sangat timpang antara sekelompok kecil kelas tertentu dengan rakyat kebanyakan,” tukas Fadhil.

Fadhil tentu tidak ingin Indonesia menyandang “gelar” failed state. Atas dasar itu, kata dia, masyarakat sipil harus melakukan konsolidasi guna melawan upaya konsolidasi kekuasaan.

“Harus ada sebuah gerakan yang konsisten dari masyarakat sipil. Ini biasanya datang dari kelompok intelektual, kalangan kampus, bahkan NGO (Non-Governmental Organization),” tegas dia.

Selain itu, masyarakat sipil juga mesti melakukan diaspora di seluruh perangkat negara. “Kita harus berani melakukan usaha-usaha penyadaran yang lebih konkret supaya praktik oligarki ini bisa diberhentikan,”jelas Fadhil.

Akibat semua itu beberapa jalan keluar yang harus terapkan agar demokrasi tidak mengalami kemunduran. Seperti, Civil Society perlu melakukan konsolidasi dan melakukan diaspora di seluruh perangkat Negara sehingga berani melawa upada konsolidasi kekuasaan, mengadakan agenda perubahan baru seperti “Gerakan Arah Baru Indonesia” menuju Indonesia yang maju melampaui Negara lain dan yang paling penting adalah, peyadaran akan oligarki bahwa kue pembangunan harus di distribusikan dengan luas untuk sustainability keberlangsungan bangsa.

“Kemunduran demokrasi ini bukan dilakukan oleh kudeta militer, namun hari ini terjadi karena politisi sipil yang terpilih secara demokratis justru membunuh nilai-nilai demokrasi,” ujar Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES Wijayanto.

Menurut Wijayanto, kemunduran demokrasi Indonesia bukan omong kosong belaka. Dia lalu mengungkapkan laporan The Economics Intelegent Unit (EIU), di mana indeks demokrasi Indonesia merosot dari 6.48 (2019) menjadi 6.30 (2020) sekaligus menjadi skor terendah dalam 14 tahun terakhir.

Dia berpendapat, kemunduran demokrasi tidak lepas dari serangkaian praktik otoritarianisme yang terus terjadi dalam beberapa tahun terakhir,l. Misalnya, ancaman terhadap kebebasan masyarakat sipil baik, pemberangusan oposisi, hingga teror dan serangan kepada jurnalis.

Soal kebebasan sipil misalnya. Menurut Wijayanto, kebebasan sipil kian menyempit. Masyarakat tidak lagi bebas menyuarakan pendapat, ancaman acap kali meneror mereka yang bersikap kritis terhadap kekuasaan.

“Kawan-kawan akademisi yang menolak revisi UU KPK mendapatkan teror siber peratasan whatsapp,” kata dia mencontohkan, sekaligus menunjukkan screenshoot sebagai bukti peretasan terhadap salah satu aktivis.

Bukan sekadar teror, masyarakat sipil terkadang harus rela mendekam di balik jeruji gegara mengkritisi penguasan.

“Pada 2020, ada 84 kasus orang yang dikriminalisasi oleh pasal karet, yaitu Pasal 27 dan Pasal 28 tentang UU ITE. Korbannya mayoritas warga, aktivis, hingga pelajar, bukan orang yang powerfull,” kata Wijayanto menukil data SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network).

Berdasarkan laporan EIU 2019, nilai kebebasan sipil Indonesia hanya sebesar 5.59 dari skala 10. Nilai kebebasan sipil juga tidak mengalami perubahan pada 2020, masih 5.59 sekaligus menjadi angka terendah dibanding indikator demokrasi lainnya. “Jadi, kita masih buruk dari sisi kebebasan sipil,” tegas Wijayanto.

Lantaran acap kali mendapat ancaman hingga pemidanaan, Wijayanto mengungkapkan bahwa tidak sedikit masyarakat yang kini merasa takut menyuarakan pendapat, terutama melalui media sosial.

“50 persen responden setuju bahwa mereka semakin takut menyatakan pendapat,” kata dia mengungkap hasil survei LP3ES pada 2021 ketika ditanya soal seberapa setuju atau tidak setuju dengan pernyataan bahwa masyarakat takut berpendapat.

Seiring dengan itu, kekerasan terhadap jurnalis juga terjadi secara merata di seluruh indonsia, saat melaporkan demo penolakan UU Cipta Kerja. Bentuk kekerasan mulai dari perusakan, perampasan alat atau data hasil liputan, kekerasan fisik, intimidasi, penangkapan, hingga penahanan.

Kian Parah

Wakil Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Hurriyah menambahkan, Indonesia terus mengalami penyusutan ruang demokrasi sepanjang satu dekade terakhir. Bahkan aspek kebebasan sipil, semakin hari kian parah kondisinya.

“Kalau kita lihat dari berbagai assesment lembaga pengindeks demokrasi dari mulai Freedom House, IEU, hingga IDI (Indeks Demokrasi Indonesia), hampir semua aspek kebebasan sipil itu mengalami penurunan yang tajam,” imbuh Hurriyah.

Menurut dia, saat ini masyarakat sipil mengalami underpressure. “Ada berbagai cara yang dilakukan oleh negara untuk membatasi ruang gerak masyarakat sipil, mulai dari cara-cara legal formal sampai dengan metode ekstra legal–penggunaan kekerasan hingga kriminalisai terhadap masyarakat sipil.”

Hurriyah mengatakan, cara-cara tersebut bukan hanya mempersempit ruang gerak masyarakat sipil untuk memainkan peran-peran demokrasinya, tapi juga berdampak terhadap aspek kebebasan politik.

“Ada upaya untuk membangun oligarki dan memanfaatkan mekanisme-mekanisme demokrasi untuk melanggengkan kekuasaan,” imbuh dia.

Kondisi tersebut diperparah lagi dengan fenomena kemunculan aktor-aktor tertentu yang didukung oleh penguasa. “Aktor-aktor ini menjadi kelompok yang paling gencar menyerang kelompok masyarakat sipil yang kritis,” kata Hurriyah.

Menurut Hurriyah, aktor-aktor tersebut juga terus berusaha mendominasi diskursus publik, bahkan acap kali membuat isu tandingan guna memobilisasi sentimen negatif dari publik terhadap kelompok masyarakat sipil yang kritis.

“Bagaimana isu penolakan pelemahan KPK dibungkus dengan isu taliban, misalnya. Atau ketika isu pelanggaran HAM di Papua dibungkus dengan isu separatisme,” kata dia, mencontohkan.

AFIFAH/JAKSAT