JAKARTSATU.COM – Ekonom yang juga Direktur Eksekutif Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, menyarankan pemerintah mengajukan reformasi perpajakan yang komprehensif guna membantu penerimaan negara di kala Pandemi.
“RUU KUP itu seharusnya memuat reformasi pajak yang komprehensif. Polemik membebankan Pajak sembako, kesehatan dan pendidikan termasuk, Memburu Orang Super Kaya dengan 35% Tarif OP seharusnya dibingkai dalam kerangka perpajakan yang lebih berkeadilan,” ujar Achmad Nur Hidayat dalam rilisnya yang diterima Redaksi 12 Juni 2021.
Achmad Nur Hidayat menegaskan bahwa RUU KUP yang tidak didasarkan pada prinsip keadilan dan komunikasi publik yang masif maka reformasi pajak 2021 ini akan ditolak masyarakat.
“Ibu Sri Mulyani harus terbiasa untuk mengkomunikasikan gagasan reformasi publiknya secara masif apalagi bila dokumen publiknya sudah jatuh ketangan DPR. Ibu Menteri jangan merasa kikuk di depan publik soalnya ini menyangkut hajat hidup orang banyak,” ujar Achmad Nur Hidayat yang akrab disapa ANH.
Narasi rencana kenaikan PPN sembako bahkan 1% pun akan dinilai tidak adil disaat masyarakat mengalami resesi ekonomi, begitu juga perluasan penyidik pajak untuk menangkap tanpa melibatkan kepolisian dan kejaksaan akan mendapat penentangan keras dari publik, tambah ANH.
ANH pun menyarankan agar reformasi pajak 2021 dilakukan mengedepankan prinsip keprihatian ekonomi publik dan asas keadilan.
“Salah satunya reformasi perpajakan komprehensif berkeadilan adalah melalui kenaikan PPh pribadi orang kaya 35% dibarengi dengan penurunan PPh Badan/perusahaan dari 25 persen menjadi 10-15 persen,”tegasnya.
Jika PPh Badan diturunkan maka underground economy akan muncul karena tidak ada lagi insentif untuk berusaha sembunyi-sembunyi. Di waktu bersamaan Orang super kaya tidak lagi menumpuk harta karena takut dipajaki tarif PPh Pribadi tinggi sehingga mereka lebih banyak berinvestasi, mendirikan perusahaan, merekrut tenaga kerja baru sehingga ekonomi tumbuh, demikian saran ANH.
Masih kata ANH dengan penurunan PPh Badan yang signifikan akan menaikan jumlah wajib pajak baru sehingga yang terjadi adalah ekstensifikasi pajak.
“Selama ini reformasi pajak hanya bersifat intensifikasi terus menerus, memburu wajib pajak yang itu-itu lagi seperti berburu di kebun binatang,” tambah ANH.
ANH mengakui dengan kebijakan penurunan PPh badan akan terjadi shortfall penerimaan dari pajak beberapa tahun, namun hal tersebut wajar karena negara sedang resesi imbas pandemi. Begitu ekonomi pulih, akan diikuti dengan meningkatnya wajib pajak baru. Penurunan PPh Badan tepat diberlakukan disaat ekonomi masih negatif saat ini.
“Penurunan PPh Badan dalam simulasi akan menyebabkan shortfall sekitar 2-3 tahun terlebih dahulu setelah itu akan naik stabil seiring dengan wajib pajak badan yang bertambah,” bebernya.
ANH berpendapat reformasi pajak yang komprehensif artinya terjadi pendekatan baru dari intensifikasi kepada ekstensifikasi pajak sehingga diperlukan langkah revolusioner yang berani.
“Masalahnya adalah reformasi perpajakan selama ini tidak substantif sehingga mutar-mutar saja menaikan tarif pajaknya tanpa ada upaya serius menambah jumlah WP, kenaikan PPN Sembako dari nol menjadi 1 persen atau menaikan PPh orang kaya dari 30 persen menjadi 35 persen adalah contoh reformasi pajak yang memburu di kebun binatang,”pungkas ANH. (ATA/JAKSAT)