M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan. (Foto Ajie Sukma-JAKSAT)

by M Rizal Fadillah

MUNGKIN terlalu kasar menyebut Professor abal-abal, tetapi cukup kuat dasar penilaiannya. Pertama, tidak ada dalam ruang akademik yang disebut dengan Profesor Honoris Causa, yang ada dan diakui hanya Doktor Honoris Causa. Kedua, kualifikasi yang terbaca publik bahwa kelayakan penerima gelar terkesan dipaksakan dan sarat dengan kepentingan politik.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Ditjen Dikti) Nizam menyatakan tidak ada gelar Profesor kehormatan yang ada Doktor kehormatan (Honoris Causa) saja. Menurutnya guru besar atau Profesor itu bukanlah gelar melainkan jabatan. Jabatan fungsional tertinggi bagi seorang dosen.

Ramai masalah Profesor kehormatan (HC) setelah UNHAN l%•memberi gelar tersebut kepada Megawati Ketum PDIP dengan kelengkapan Prof. DR (HC) Megawati Soekarnoputeri. Penegasan Nizam bahwa gelar DR (HC) tidaklah disertai dengan gelar Profesor (Prof). Masalah ini krusial dan menjadi gonjang-ganjing sosial.

Guru besar tidak tetap berbeda dengan guru besar kehormatan (HC). Di samping tidak ada guru besar kehormatan, juga guru besar tidak tetap diatur tegas dalam Permen Dikbud No 40 tahun 2912 yang menyatakan bahwa guru besar tidak tetap diangkat jika memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa.
Inilah pertanyaan mendasar sejauh mana Megawati Soekarnoputeri memiliki “keahlian dengan prestasi luar biasa” ?

Pidato pengukuhan dengan konten memuji diri sendiri mendapat cibiran banyak kalangan. Ciri berfikir akademik itu adalah, di samping analitis, sistematik, juga harus obyektif. Dengan mengangkat isu kepemimpinan sendiri saat menjabat sebagai Presiden, maka runtuhlah nilai-nilai ilmiah atau akademik dari pidato pengukuhan “Profesor” nya tersebut. Subyektivitas menjadi sangat menonjol.

UNHAN terlalu mencolok dalam bermain politik dan menggeser nilai akademik. Sebagaimana menurut Sulfikar Amir, Associate Professor Nanyang Technological University (NTU) Singapura bahwa fenomena obral gelar kehormatan itu telah mengotori proses akademik yang harus ditempuh seseorang untuk mendapatkannya.

Negara Indonesia telah mengobral gelar Profesor atau Doktor khususnya untuk para politisi baik Ketua partai maupun anggota DPR serta pejabat pemerintahan lainnya. Tanpa kualifikasi dan integritas akademik yang semestinya. Peristiwa ini menjadi bahan cemoohan yang tentu saja memalukan.

UNHAN di bawah Kemenhan dengan Prabowo sebagai Menteri menjadi sorotan. Pembuatan patung Soekarno berkuda dan pemberian gelar Profesor kehormatan kepada Ketum PDIP menunjukkan adanya tendensi kepentingan politik. Politik transaksional. Bahkan rakyat melihat budaya politik “menjilat” sedang dibangun dan dikembangkan.

UNHAN harus menerima masukan publik atas langkahnya yang dinilai keliru dan telah merusak marwah Perguruan Tinggi. UNHAN harus mencabut kembali pemberian gelar Profesor kepada Megawati.

Rakyat tidak boleh dididik untuk mendewakan gelar yang bisa dan mudah untuk dibeli atau dibarter dengan jabatan atau kekuasaan politik tertentu. Kepentingan politik tidak boleh mengacak-acak ruang akademik.

Jangan ada Doktor atau Profesor abal-abal !

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Bandung, 13 Juni 2021