ilustrasi

Oleh: Abu Muas T. (Pemerhati Masalah Sosial)

Kegaduhan demi kegaduhan silih berganti terus terjadi di negeri ini, seperti gaduh teranyar yang belum reda soal pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK)-nya, batal haji yang merembet pada soal banyak tuntutan untuk audit dana haji, hingga yang terbaru soal Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang akan dikenakan pada kebutuhan sembilan bahan pokok (sembako) dan sekolah.

Terlepas muncul alasan “bocor” draft rencana pemerintah soal PPN sembako dan sekolah hingga menyebar ke publik, tentu hal ini tidaklah terlalu mengagetkan karena bocoran ini disengaja atau tidak disengaja dibocorkan, hingga patut timbul dugaan hanya sebagai alat Test The Water atau tes reaksi publik. Adakah atau seberapa besarkah reaksi publik soal pengenaan PPN sembako dan sekolah ini?

Tak dapat dinafikan tentunya, reaksi penolakan publik soal yang satu ini akan sangat besar dampaknya karena menyangkut kebutuhan dasar pokok hidup keseharian. Si Perencana pengenaan PPN terhadap sembako dan sekolah ini sepertinya hanya berfikir bagaimana bisa mengumpulkan pajak sebanyak mungkin dalam waktu yang singkat dan mudah.

Jika memungut dan menaikkan pajak dari barang-barang mewah tentu hasilnya tidak akan optimal dan frekuensi pembelian barang-barang mewah pun tidak sebanyak sembako. Terlebih karena terpengaruh kondisi perekonomian yang sedang jeblok, maka mencarilah jalan yang mudah dan cepat untuk memungut pajak bagi kebutuhan dasar pokok, sembako.

Memang tak seberapa pungutan PPN sembako ini jika dihitung dari tiap itemnya, namun jika dihitung dari sisi jumlah dan frekuensi peredaran sembako setiap hari maka sungguh sangat menggiurkan perolehannya. Inilah barangkali yang menjadi dasar pemikiran si perancang pengenaan PPN sembako, yang indikasinya berangkat dari sebuah peribahasa yang menyatakan: “Tak ada rotan akar pun jadi, apabila yang baik tidak ada, maka yang kurang baik pun juga bisa dimanfaatkan”.

Sembako dalam peribahasa di atas sangat kurang tepat jika dikatakan termasuk hal yang kurang baik. Jika sembako masuk dalam kategori kurang baik, maka tak lain hanya kenapa harus sembako yang dikenai PPN?

Semoga penentu kebijakan negeri ini berfikir ulang sekian kali untuk memuluskan rencana pengenaan PPN semboko ini. Soal sembako adalah kebutuhan dasar pokok kehidupan keseharian warga yang menyangkut urusan “perut”, sedikit saja diusik soal yang satu ini dampaknya akan bisa besar. Hingga dalam perjalanan sejarah mencatat timbulnya revolusi di sejumlah negara disebabkan karena soal yang satu ini, yang tercatat dapat menjatuhkan rezim sekuat apa pun hanya gegara urusan perut.

Bergulirnya polemik soal PPN sembako ini, tak urung berseliweranlah di jagad media sosial sejumlah anekdot-anekdot yang cukup berwariasi. Di antaranya ada anekdot yang bernarasi, “Hati-hati klaim orang tua yang mengatakan, anak adalah harta yang tak ternilai”.

Dalam lanjutan narasi anekdot tertulis, jangan-jangan nanti anak pun yang dinilai sebagai harta akan dikenai PPA (Pajak Pertambahan Anak)?  ***